BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sistem kekuasaan di dunia, di atas pandangan biner laki-laki dan perempuan, sehingga tercipta pariarkhis yang memposisikan perempuan sebagai subordinat. Dalam posisi ini muncul ketidakadilan gender yang diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan, baik kekerasan yang dijalankan sebagimana sifatnya maupun kekerasan dalam selimut kasih sayang yang menipu. Padahal, sistem kekerasan di bangun dari suatu sistem yang kuat di atas fundamen berlapis. Sistem kekerasan ini dimulai dari subordinat relasi gender, kemudain di perkokoh oleh subordinat dalam sistem feodal. Sistem ini di perteguh oleh subordinat relasi dalam sistem kapitalisme. Agar tidak di ancam oleh perlawanan subordinat, kita juga sering menjadikan agama sebagai alat bersembunyi yang paling aman bagi berjalannya kekuasaan dan kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
1.2.2 Tujuan Khusus
· Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui definisi kekerasan dan kekerasan terhadap perempuan.
· Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui macam-macam kekerasan terhadap perempuan
· Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Kekerasan
Kekerasan merupakan perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik inividu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai satu situasi yang membebani, tidak menyenangkan, dan tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan akan membuat pihak lain sakit, baik secara fisik maupun psikis serta rohani. Individu atau kelompok yang tersakiti sulit untuk bebas dan merdeka. Mereka juga dibelenggu dan terbelenggu. Namun situasi ini tidak akan dirasakan oleh korban apabila situasi ini merupakan sebuah kebiasaan.
2.2 Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap wanita, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.4
2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan (Woman Abuse)
Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini belum cukup mendapat perhatian dari institusi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Meski perempuan rentan dan rawan terhadap kekerasan. Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender.
Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.7
Tindak kekerasan, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan untuk melindungi perempuan sering terbentur pada keterbatasan data kuantitatif dan kualitatif pendukung.8
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 2000, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4% dari total penduduk Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan.
Diperkirakan angka-angka yang tercatat di LSM, kantor polisi dan media massa tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, mengingat seperti masalah perkosaan masih dianggap tabu. Selain itu hukum negara kita yang mengatur hal tersebut secara khusus dan rinci juga belum maksimal. Selama ini pelaku hanya bisa dijerat dengan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu kasus persetubuhan diluar perkawinan yang merupakan kejahatan seksual yang diatur dalam pasal 284, 285, 286, dan 287 KUHP dan kasus persetubuhan dalam perkawinan yang dianggap sebagai kejahatan diatur dalam KUHP pasal 288. Sebagai tenaga kesehatan tentunya kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang berhubungan dengan kasus perkosaan, baik dari segi hukum maupun segi medis, sehingga keterangan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dapat memiliki kekuatan hukum dan berguna di peradilan.12
2.3.1 Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai Bentuk Ketidakadilan Gender
Kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Di belahan dunia, perkembangan IPTEK tidak dengan sendirinya menunjukan perkembangan relasi antar manusia yang masih saja berada dalam kontruksi sosial masyarakat yang bias gender.
Situasi ini membutuhkan analisis yang tajam untuk membedah persoalan sehingga menjadi jelas. Posisi subordinat yang di ciptakan atas perempuan, secara permanen bahkan seolah-olah mengesahkan berbagai bentuk ketidak adilan, penindasan, dan dengan sendirinya kekerasan serta perampasan hak asasi perempuan.
Menurut De Beauviore, dominasi laki-laki muncul karena merupakan proyeksi kekuatannya yang berkaitan dengan kelahiran laki- laki. Peran gender laki-laki merupakan kompensasi rasa tanggung jawab terhadap kelahiran anak, sehingga mereka bekerja di sektor publik untuk mencari nafkah. Laki-laki juga merupakan manusia bebas. Dia ikut dalam tugas membuat keturunan, tetapi tidak ikut mengandung, melahirkan, sehingga laki-laki bebas melarikan diri dari fungsi reproduksi, yakni dari mulai pemeliharaan janin hingga anak mulai bisa lepas dari ibunya.
2.3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam situasi ini bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Kekerasan terhadap perempuan, karena kekuasaan seks atas dirinya. Misalnya, ajakan hubungan seks tanpa rasa hormat (pelecehan), paksaan hubungan seks yang sebenarnya tidak dikehendaki (pemerkosaan), penganiayaan seks terhadap anak, kawin sumbang (incest).
2. Kekerasan terhadap perempuan karena kekeuasaan dan kekuatan fisik laki-laki. Misalnya pemukulan, penganiayaan, penyekapan, pembunuhan, penculikan, mengontrol badan atau tubuh perempuan (pembuatan alat kontrasepsi buatan).
3. Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan psikologis dan emosional laki-laki. Contohnya sikap melindungi yang berlebihan sehingga dirasakan korban sebagai kekekangan atau ikatan, penghinaan, olok-olok terhadap kemampuan, menyalahartikan kemampuan perempuan, intimidasi, ancaman, mempermalukan perempuan pada saat mereka menyampaikan ide atau menampilkan diri.
4. Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan sosial laki-laki. Contohnya, merendahkan kedudukan perempuan di masyarakat (tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan), membatasi dan mengontrol perempuan dalam memilih teman dan pekerjaan, melarang perempuan keluar malam, mengaharuskan perempuan meminta izin ayah atau saudara laki-laki kalau pergi ke luar negeri.
5. Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan ekonomi atau keuangan laki-laki. Contohnya, menjatahkan uang belanja, pembatasan hak milik perempuan, pemabatasan akses perempuan di bidang ekonomi (modal, kesempatan kerja, dan memimpin), pembayaran upah lebih rendah, menomorduakan penghasilan perempuan (kategori penghasilan), peraturan di bidang ekonomi yang merugikan perempuan (yang bekerja dianggap sebagai posisi lajang meski sudah berkeluarga).
Bentuk kekerasan yang sering terjadi pada perempuan berupa perlukaan akibat kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Khusus kasus kekerasan seksual bentuk perkosaan, sebuah LSM perempuan mencatat bahwa setiap lima jam terjadi satu kasus perkosaan di Indonesia.15 Kekerasan perempuan dapat terjadi dalam bentuk :7
1 Tindak kekerasan fisik
Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya.
2 Tindak kekerasan non-fisik
Tindak kekerasan non-fisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/dikehendaki korbannya.
3 Tindak kekerasan psikologis atau jiwa
Tindak kekerasan psikologis/ jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal (termasuk keuangan). Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. Yang termasuk kedalam kekerasan psikologis adalah :
a. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran. Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, di kampus/sekolah, di pesta, dan tempat rapat. Pelaku pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja, dokter, dukun, dan lain-lain. Akibat pelecehan seksual, korban merasa malu, marah, terhina, tersinggung, benci kepada pelaku, dendam kepada pelaku, shok/trauma berat, dan lain-lain.7
b. Perkosaan
Pengertian perkosaan di Indonesia mengacu pada pasal 285 KUHP, yang berarti adalah suatu kejahatan seksual yang ditandai dengan adanya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita yang bukan merupakan istri dari pelaku, disertai dengan pemaksaan yang berupa kekerasan atau ancaman akan kekerasan.Berdasarkan pelakunya, perkosaan bisa dilakukan oleh:7
• Orang yang dikenal: teman, tetangga, pacar, suami, atau anggota keluarga (bapak, paman, saudara).
• Orang yang tidak dikenal, biasanya disertai dengan tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, penganiayaan, atau pembunuhan.
Tindakan perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, dan lainnya.
Pemeriksaan terhadap kasus yang diduga perkosaan bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.
2.3.3 Contoh Bentuk Kekerasan Pada Perempuan
· Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Pada adalah istri dan/atau anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dsb
Secara psikologis, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, dan mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya.
Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual.
Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.
Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/tidak melaporkan kejadian karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau tidak tahu kemana harus melapor.
2.3.4 Peran Bidan dalam Mengatasi Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga
1 Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter, dan one stop crisis center.
2 Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Bidan berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Bidan berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder berupa asuhan-asuhan, pencegahan tertier melalui pelatihan/pendidikan, pembentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
3 Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.
4 Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
5 Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal untuk mendampingi korban.
2.4 Pelanggaran hak-hak perempuan
Perempuan berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa pelanggaran hak-hak berikut :
1 Hak atas kehidupan.
2 Hak atas persamaan.
3 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi.
4 Hak atas perlindungan yang sama di muka umum.
5 Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya.
6 Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik.
7 Hak untuk pendidikan lanjut.
8 Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang.
2.5 Fungsi dan Tujuan Komnas Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan ) adalah sebuah komisi independen yang dibentuk untuk menciptakan sesuatu yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan. Komnas Perempuan dibentuk melalui keputusan presiden(keppres) no.181//1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Pembentukan Komnas Perempuan adalah dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan, serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu berdasarkan pasal 7 Keppres no.181//1998 keberadaan Komnas Perempuan ditujukan untuk :
1 Penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan,
2 Pengembangan suasana yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan
3 Peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan HAM perempuan.
2.6 Perempuan dan anak sebagai korban kekerasan
Kerusuhan yang banyak terjadi di belahan dunia, misalnya yang terjadi juga di Aceh, Ambon, Kalimantan Timur dan beberapa daerah lainnya, menyebabkan masyarakat mengungsi untuk mencari keselamatan. Diantara jumlah terbanyak dari pengungsi dan mereka yang di rugikan atas berbagai kerusuhan adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Anggota masyarakat yang berlindung di belakang perempuan dan anak-anak menganggap bahwa pelaku kekerasan tidak akan berani melukainya. Tetapi ternyata, sikap untuk menghargai perempuan dan anak-anak sebagai manusia telah sama sekali hilang karena sikap benci dan rasa dendam.
Akibatnya, justru perempuan dan anak-anak yang menjadi korban paling parah dari setiap kerusuhan sosial. Apabila dalam satu keluarga, anggota keluarga yang laki-laki lari bersembunyi atau bergabung untuk perlawanan maka anggota keluarga yang perempuan dan anak-anak ditinggalkan begitu saja.
Mereka harus berusaha sendiri menyelamatkan keluarga yang ditinggal. Secara fisik, mereka lapar dan sakit. Secara psikologis mereka cemas dan ketakutan. Penderitaan ini bertambah, manakala mendengar berita bahwa anggota keluarga dibunuh secara keji atau hilang tidak tahu dimana rimbanya. Penderitaan ini merupakan kejadian yang selalu terlihat dalam setiap peristiwa konflik horisontal secara masif.
Untuk mengetahui perempuan dan anak-anak menjadi korban dalam setiap pergolakan dimasyarakat, diperlukan analisis kritis dengan pendekatan struktural. Dari realitas kehidupan dapat dilihat bahwa kelompok masyarakat yang menjadi korban selalu masyarakat marginal, yaitu kelompok yang tidak berdaya.
Ketidakberdayaan mereka selalu terjadi akibat dari konstruksi sosial yang ada. Sosialisasi yang bermuatan idiologi tertentu, menghasilkan kostruksi sosial seperti yang dikehendaki kelompok yang berkuasa. Kekuasaan ini mengatur posisi-posisi kelompok masyarakat. Aturan penentuan posisi ini kriterianya dikotomi kuat-lemah. Kelompok yang lemah, yaitu kelompok subordinat yang tidak diberi kesempatan untuk turut mengambil keputusan. Subordinasi ini kemudian diteruskan dalam berbagai bentuk seperti pada jenis kelamin, umur, keadaan sosial, pendidikan, dan kehidupan fisik.
Perempuan dan anak-anak diposisikan dari unsur seks dan umur. Posisi subordinat yang menyebabakan perempuan dan anak-anak menerima segala macam akibat dari keputusan kelompok masyarakat yang menguasainya. Oleh karena itu, untuk menggali penyebabnya diperlukan teori feminisme. Teori ini berisi berbagai tinjauan kritis, mengapa perempuan di seluruh dunia mendapatkan posisi subordinat. Posisi ini secara struktural mengarah kepada anak, dan lebih spesifik lagi kepada anak-anak perempuan yang akan mengalami subordinasi ganda, dari segi umur dan seks.
Dari tinjauan ini, dapat diketahui sebab-sebab penindasan yang mendorong lahirnya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Penindasan ini bermula dari kontrol budaya terhadap alam yang diproyeksikan pada kontrol laki-laki atas perempuan. Relasi timpang ini, dalam proses kehidupan manusia menghasilkan berbagai macam bentuk dominasi atau penguasaan yang memposisikan si kuat atau si lemah.
Keadaan ini telah terbukti menyengsarakan manusia dan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Jika ketimpangan ini didiamkan terus, tentu akan berlanjut dan akan semakin parah. Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran bersama untuk memperjuangkan pola relasi antar manusia yang lebih adil dan seimbang, sehingga peluang terciptanya dominasi dan kooptasi yang akhirnya melahirkan kekerasan itu akan berakhir.
Namun, arus kekerasan tidak dapat dilawan dengan kekerasan. Untuk itu, dibutuhkan arus balik anti kekerasan. Dengan demikian, persoalannya dapat diselesaikan dengan lebih jernih dan komprehensif. Perlawanan dengan kekerasan sama dengan tidak menyelesaikan persoalan, karena hanya akan melahirkan korban baru.
Perlawanan dapat dilakukan dengan jalan proses penyadaran dalam wacana berfikir dan perfektif wawasannya sehingga didapat pemahaman yang sama bahwa konstruksi sosial yang bias gender pada hakikatnya merugikan umat manusia itu sendiri secara keseluruhan.
2.7 Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Gender merupakan konsepsi yang diakui sebagai penyebab ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berada pada status yang lebih rendah. Di Indonesia pendekatan gender telah diambil untuk peningkatan status perempuan melalui peningkatan peran dalam pembangunan. Peran perempuan menjadi satu topik diskusi yang sangat menarik karena selama ini peran perempuan di dalam pembangunan masih dapat dikategorikan terbelakang. Suatu yang bertolak belakang dengan berbagai hasil studi yang menunjukkan peran perempuan di tingkat pedesaan dalam rumah tangga sangat dominan. Curahan kerja perempuan di pedesaan seringkali lebih tinggi namun terbatas pada kerja reproduktif yang tidak dinilai secara ekonomi, sehingga penghargaan terhadap perempuan hampir tidak ada.
Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Perempuan Indonesia bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu Ke-80 pada tanggal 22 Desember 2008 dan juga Peringatan 30 Tahun berdirinya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (1978-2008).
Telah membuahkan pikiran yang positif bagi kebanyakan perempuan untuk bangkit dan belajar mencintai arti dirinya dalam mengisi berbagai topik pembangunan. Pergeseran peran perempuan yang semula pada kerja reproduktif ke produktif semakin lama menunjukkan gejala peningkatan. Secara kuantitas, perempuan memang lebih unggul dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi untuk berperan serta dalam pembangunan. Kualitas sumber daya perempuan juga tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki.
Akhir-akhir ini kita semakin sering disuguhi dengan berita-berita di media massa tentang tindak kekerasan, baik yang terjadi di kalangan publik maupun di dalam rumah tangga. Ada satu bentuk tindak kekerasan, yang seringkali sukar dicari siapa pelakunya namun sangat dirasakan kehadirannya oleh masyarakat umumnya dan kalangan perempuan khususnya, yaitu tindak kekerasan dalam rumah tangga
Seperti beberapa kasus yang ditangani oleh Lembaga Peduli Perempuan dan Anak Kab. Asahan Sumatera Utara, kasus - kasus berupa kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan terhadap anak.
Walaupun telah diberikan undang - undang untuk itu tetapi kebanyakan masyarakat belum tahu bahwa sudah ada undang - undang yang menangani itu semua. Yaitu, UU KDRT N0 23 Tahun 2004 dan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2004. Kurangnya sosialisasi dari pemerintahan dan minimnya masyarakat dalam mencari informasi membuat masyarakat ini menjadi sepele atau tidak takut dalam melakukan tindak kekerasan ini. Dalam hal ini, negara sendiri bisa dianggap melakukan
Tindak kekerasan ketika berbagai kejadian yang menimpa banyak orang, terutama perempuan, seperti pelecehan seksual, diskriminasi, penganiayaan, perkosaan, hingga pembunuhan, tidak dapat dicegah atau bahkan dibiarkan oleh negara (violence by omission).
Meski perempuan rentan dan rawan terhadap tindak kekerasan, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan untuk melindungi perempuan sering terbentur pada keterbatasan data kuantitatif dan kualitatif pendukung. Dalam satu dekade ini muncul fenomena baru untuk mengajak "pihak lawan" (laki-laki) mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dipicu asumsi, ternyata laki-laki bukan saja pelaku, tetapi juga korban kekerasan.
Ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Pertama, laki-laki bisa diajak berpartisipasi membicarakan masalah yang mungkin berkaitan dengan diri mereka, dan mereka merupakan aliansi potensial untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kedua, perubahan cara pandang terhadap peran laki-laki yang selama ini diidentifikasi sebagai sumber masalah kekerasan terhadap perempuan.
Keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan bukannya tidak menimbulkan persoalan baru.
Pertama, masih ada asumsi di kalangan perempuan, laki-laki sebagai pelaku tindak kekerasan bukan disebabkan bentukan sosial dan budaya, tetapi lebih disebabkan karena mereka secara fisik adalah laki-laki sebagaimana pandangan feminis radikal.
Kedua, keterlibatan laki-laki dipandang sebagai bentuk ancaman baru bagi eksistensi perempuan, sebagai upaya ekspansi laki-laki dalam wilayah lebih luas. Pandangan ini bisa dimaklumi mengingat hegemoni ideologi patriarki sudah sangat mapan dan mengakar sehingga dikhawatirkan tidak dapat diubah sama sekali. Kecurigaan seperti itu bisa diakhiri apabila ada kesepakatan keterlibatan laki-laki bukan untuk menguatkan dominasi dan superioritas mereka, tetapi sebagai pendukung dan mitra utama kelompok perempuan. Kesepakatan perlu dibuat mengingat cara pandang itu juga diidap lebih banyak oleh laki-laki, terutama dari kelompok yang baru pindah haluan pemikiran. Harus ada pemahaman kepada mereka, keterlibatan mereka adalah bagian penyelesaian masalah karena mereka salah satu sumber masalah terbesar. Jadi, keterlibatan laki-laki bukan hanya menolong perempuan, tetapi juga untuk menolong mereka agar tidak terlalu lama menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
2.8 Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi
Efek psikologis kekerasan bagi wanita lebih parah dibandingkan efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, gangguan makan dan tidur. Jika wanita hamil megalami kekerasan fisik oleh suaminya maka dapat terjadi keguguran, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, wanita mengalami kesulitan seperti : hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan, dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga adalah perubahan pada pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Tindak kekerasan mempengaruhi cara berfikir korban, tidak mampu berfikir jernih karena takut, cenderung curiga (paranoid) sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya apa yang terjadi. Istri menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid dan terinfeksi PMS.
2.9 Peran petugas kesehatan
Petugas kesehatan khususnya bidan dapat berperan penting dalam menghadapi kasus kekerasan pada perempuan . Pertolongan sedini mungkin dapat mencegah terjadinya masalah kesehatan yang serius dan berlarut-larut akibat kekerasan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
· Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
· Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum atrepertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti
· Pelayanan kesehatan tersebut dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.
2.10 Studi Kasus
2.10.1 Studi Kasus 1
DELI SERDANG - Gara-gara melarang bermain judi tuwo, sang suami berinisial Nr mengamuk langsung menganiaya dan menyulut api rokok ke wajah istrinya Sara Setia Oktavia alias Sarah (27), di dekat rumahnya Jalan Sei Mencirim, Desa Payageli, Dusun III, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.
“Akibat penganiayaan, korban Sarah terpaksa opname selama empat hari di RSU Restu Ibu, kawasan Pasar V Jalan Binjai,” kata korban Sarah, serya menyebutkan, penganiayaan terahir tanggal 28 Pebruari 2011. "Saya pernah diopname di RSU Restu Ibu," ujarnya, tadi malam.
Dia mengatakan, nekat mengadukan suami ke Polsekta Sunggal sesuai nomor Surat Tanda Bukti Penerimaan Laporan (STPL) 633/II/2011/SU/Res Kota Medan/Sek Sunggal yang diterima Ka SPK I/A Aiptu M Yusuf, karena tidak ingin hidup bersama dengan suaminya lagi.
Aris selaku ayah korban mengatakan, tindakan pelaku (menantunya-red) sudah berulangkali. “Tindakan menantu saya benar-benar menyakitkan. Bahkan, masalah penganiayaan ini sudah diberitahukan secara kekeluargaan baik kepada pihak keluarga menantunya tapi tidak ada respon,” tegas Aris.
Selanjutnya diberitahukan kepala dusun I bernama Burhanudin, tapi kadus sudah capek menasihatinya tapi pelaku masih tidak mengubriskannya. "Selaku orangtua melihat anaknya terus disiksa, orangtua mana yang tengah melihatnya. Yah, kalau mereka berpisah apa boleh buat dan saya sanggup membesarkan empat cucu yang masih kecil-kecil," ungkapnya.
Awalnya, Sarah mempergoki pelaku suaminya Nr bermain judi tuwo dengan taruhan uang di belakang rumah warga di Dusun I, Desa Payageli. Selanjutnya korban marah karena suaminya bukannya bekerja mencari uang untuk keluarga dan melainkan bermain judi.
Pelaku meninggalkan lokasi judi tuwo dan melakukan penganiayaan terhadap istrinya Sarah. Perbuatan pelaku bukan sampai disitu saja dan melainkan menyulutkan api rokok ke wajah korban. Akibatkan pukulan keras mengenai bagian kepala, korban langsung jatuh pingsan. Orangtua korban melihat putrinya terkapar keadaan tak sadarkan diri terus dilarikan ke rumah sakit.
Kapolsekta Sunggal, Kompol Sonny Marisi Nugroho Tampubolon, mengatakan pihaknya terus mengusut kasus penganiayaan dan penyulitkan api ke wajah korban Sarah yang dilakukan suaminya sendiri.
Dalam kasus ini, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi. Pelaku telah dijerat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). “Selesai pemeriksaan saksi, pihaknya tinggal penangkap pelaku,” tegas Sonny.
2.10.2 Studi Kasus 2
· Peran tetangga dalam Penghapusan kasus KDRT
Semalam aku menonton 3 acara yang menanyangkan hal yang sama yaitu korban KDRT yaitu Nyonya TB (25 thn) yang dibakar oleh suaminya sendiri yaitu Syaiful Anwar(40 tahun),di acara Sidik di TPI, Saksi Mata di Global TV dan Repotase Sore di TRANS TV.Sebelumnya aku sudah membacanya di www.kompas.com.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut (KDRT) terjadi karena istri korban menolak ketika mau diajak berhubungan intim oleh suaminya,karena dia baru seminggu melahirkan dan mendapatkan 15 jahitan sehingga dia merasa sakit sekali, dan masih dalam masa nifas.Ternyata hal itu tidak menyebabkan suaminya paham akan kondisi kesehatan istrinya dan dia marah lantas membakar istrinya.Sesuai berita,tubuh sang istri terbakar 85 %.Untung saja bayi mereka selamat meskipun menderita luka bakar juga.Di Repotase Malam tadi, dikabarkan kalo korban akhirnya meninggal dunia karena infeksi akibat luka bakar tersebut.
Yang paling menyedihkan adalah menurut pengakuan korban (sebelum meninggal) di salah satu TV bahwa kekerasan itu sudah terjadi sejak usia perkawinan mereka baru saja masuk 4 bulan hingga akhirnya terjadi pembakaran dirinya usia pernikahan baru saja berusia 2 tahun.
Dan yang paling menggangetkan adalah ternyata tetangga korban tahu kekerasan fisik kerap terjadi pada diri korban,padahal Indonesia sudah memiliki UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No.23 tahun 2004 yang pada pasal 15 menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Kita menilai bahwa sosialisasi terhadap UU tersebut masihlah minim sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya.Sehingga kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai urusan privat bukan sebagai tindakan kriminal yang pelakunya dapat dikenai sangksi hukum. Oleh karena itu di himbau :
1 Kepada DPR untuk mengevaluasi jalannya UU tersebut kepada pemerintah.Khususnya departemen terkait misalnya Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan,Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,Menteri Komunikasi dan Informasi,dll dalam hal sosialisasi UU tersebut.Agar Kementerian terkait untuk segera dan lebih kuat lagi mensosialisasikan produk perundang-undangan tersebut.Dan jangan lupa tuk mengalokasikan dana yang besar untuk sosialisasi UU tersebut.
2 Kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan,Kepolisian,Komnas HAM,Komnas Perempuan dan LSM-LSM Perempuan agar lebih meningkatkan lagi sosialisasi tentang KDRT sebagai tindakan kriminal dan UU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga agar supaya lebih disosialisasikan kepada semua strata masyarakat.
3 Lebih menggingatkan aku kalo program Pertahanan Diri untuk Perempuan (Self Defense For Women) perlu ditingkatkan dan dimasyarkatkan lagi.Agar perempuan memiliki kemampuan dan ketrampilan bertahan bahkan menyerang kembali pelaku kekerasan terhadap perempuan.
2.4.11 Hipotesis
Kasus 1
Data
a. Istri :
Nama: Sara Setia Oktavia/ Sarah
Umur : 27
Alamat: Jalan Sei Mencirim, Desa Payageli, Dusun III, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.
b. Suami
Inisial : Nr
Kasus:
Nr marah kepada istrinya Sarah yang memergokinya sedang melakukan judi tuwo. Nr menyiksa dan menyulutkan api rokok ke wajah korban. Nr juga memukul bagian belakang kepala Sarah ingga jatuh pingsan.
Hipotesa:
- Nr sudah dibutakan oleh judi, sehingga tega melakukan kekerasan terhadap istrinya sendiri.
- Keluarga Sr acuh terhadap sikap Nr
Penyelesaian : Dilaporkan kepada pihak berwajib sebagai pelaku tindak
kekerasan
Suami diberi tahu bahwa judi dapat meracuni kerimanan
Istri berada di lingkungan yang dapat mensuport dia
Kasus 2
Data
Suami
Nama: Syaiful Anwar
Umur: 40 tahun
Istri
Nama : TB (inisial)
Umur : 25 tahun
Kasus :
Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut (KDRT) terjadi karena istri korban menolak diajak berhubungan intim ,karena dia baru seminggu melahirkan dan mendapatkan 15 jahitan dan sedang dalam keadaan nifas. Suaminya tidak faham keadaan isrti lalu marah dan membakar istri dan bayinya.
Hipotesis:
Suaminya tidak mau memahami bagaimana keadaan istrinya saat itu.
Suaminya hanya ingin melampiaskan nafsunya tanpa memahami bagaimana keadaan istri saat itu.
Penyelesaian :
Suami harus bisa mengerti keadaan istrinya dan jangan menganggap bahwa wanita adalah pelampiasan tetapi partner dalam hidupnya.
Dilaporkan ke pihak yang berwajib sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kekerasan yang paling umum terjadi di antara banyak kasus lain tentang kekerasan pada perempuan. Perempuan selalu menjadi objek pelampiasan laki-laki. Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan kekerasan agaknya tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya.
Namun, bukan berarti tindakan kekerasan ini tidak dapat dikurangi. Untuk mencapai hal ini, semuanya kembali berpulang pada warga masyarakat sendiri. Tanpa adanya partisipasi publik, maka tidak akan pernah ada perubahan. Untuk dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat ini maka peran pembuat kebijakan akan sangat menentukan, baik mereka yang berasal dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Selain itu, upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat serta perempuan sendiri perlu untuk menangani masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas mereka sendiri.
3.2 Saran
Pemerintah seharusnya membuat Undang-Undang atau ketentuan-ketentuan dan atau memajukan kebijakan yang aktif dan nyata yang mendorong masuknya kesetaraan gender ke dalam semua kebijakan dan program-program yang berhubungan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta menyusun strategi-strategi untuk menjamin bahwa perempuan-perempuan korban kekerasan tidak mengalami perlakuan kekerasan ganda karena Undang-Undang atas praktek-praktek
peradilan atau pemberlakuan Undang-Undang yang tidak peka gender.
peradilan atau pemberlakuan Undang-Undang yang tidak peka gender.
Dan yang terpenting adalah dukungan dan partisipasi dari seluruh masyarakat Indonesia dan menyadari bahwa perempuan bukanlah objek pelampiasan, tetapi perempuan adalah partner laki-laki dalam menajalani hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
1 Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6 November 2007 dari http://www.nusantara.co.id[Update 21 Agustus 2007]
2 Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect. Pediatric Rev 2:198, 1981.
3 Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. Disitasi Tanggal 8 November 2008 dari :http://www.situs.kesrepro.info/ gendervaw/referensi2.htm . [Update : July 2008]
4 Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuse and Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London. 1999.
5 Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.
6 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang : Yayasan Indobnesia Tera.
7 Nurcahyo. Penganiayaan & Penelantaran anak. Disitasi tanggal 8 November 2008 dari : http://www.indosnesiindonesia.com. [Update Juli 2008].
8 Philip SL. Clinical Forensic Medicine : Much Scope for Development in Hong Kong. Hongkong : Department of Pathology Faculty of Medicine University of Hong Kong. 2007.
9 Rahman, Abdul. 2007. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: YLBHI.
10 Saanin S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan Korban Tindak Kekerasan. Disitasi Tanggal : 5 November dari :http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.htm. [Update : Januari 2007]
11 Stark MM. Medical Forensic Medicine A Physician’s Guide. 2ndEdition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.
12 Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya. Disitasi tanggal 2 November 2008 dari :http://www.lcki.org/images/seminar /anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli 2007]
13 The Royal College of Paediatrics and Child Health and The Association of Forensic Physicians. Guidance on Paediatric Forensic Examinations in Relation to Possible Child Sexual Abuse. Disitasi tanngal 2 November 2008 dari :http://www.afpweb.org.uk. [Update : September 2004]
14 U.S. Department of Health and Human Services, Children’s Bureau. Child Maltreatment 1998: Reports from the States to the National Child Abuse and Neglect Data System (NCANDS). Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office. 2000.
15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Unicef, Indonesia.
16 Webmaster. Forensik Klinik. Disitasi tanggal : 2 November 2008 dari : http://www.Forensikklinikku.webs.com. [Update : Oktober 2008]
17 Webmaster. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Disitasi Tanggal 8 November 2008 dari :http://www.solusihukum.com. [Update : Januari 2004]
18 Webmaster. Preventing Child Abuse Trough Education and Awereness. Di Sitasi tanggal 8 November 2008 dari :Http://www.childabuse.com. [Update : January 2008]
19 Jurnal Perempuan Edisi 26. 2002. Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan.
20 Jurnal Perempuan Edisi 45. 2006. Sejauh Mana Komitmen Negara? Diskriminasi Terhadap Perempuan. Jakarta:YJP (Yayasan Jurnal Perempuan)
21 Jakarta:YJP (Yayasan Jurnal Perempuan) Saanin S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan Korban Tindak Kekerasan.
No comments:
Post a Comment