Wednesday, February 1, 2012

Pelecehan Seksual, PSK, Pornografi dan Pornoaksi

BAB II
ISI

Permasalahan Kesehatan Wanita dalam Dimensi Sosial dan Upaya Mengatasinya
2.1       Pelecehan Seksual
            2.1.1    Pengertian
·         Pelecehan
Pelecehan pembendaan dari kata kerja melecehkan. Melecehkan menghinakan, memandang rendah, mengabaikan Seksual hal yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita [Kamus Besar Bahasa Indonesia].

·         Pelecehan Seksual
Adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, melecehkan dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harga diri orang yang diganggunya.

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negative yaitu, rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan.
Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, "kekuasaan" jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak, dsb.
2.1.2    Kategori pelecehan seksual
a.       Quid pro quo
Pelecehan seksual yang seperti ini adalah pelecehan seksual yang biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan otoritas terhadap korbannya, disertai iming-iming pekerjaan atau kenaikan gaji atau promosi
b.      Hostile work environment
Pelecehan seksual yang terjadi tanpa janji atau iming-iming maupun ancaman
Kategori pelecehan seksual menurut Nichaus
1).    Blitz rape yaitu pelecehan seksual yang terjadi sangat cepat, sedangkan pelaku tidak saling kenal
2).    Confidence rape yaitu pelecehan seksual dengan penipuan, hal ini jarang dilaporkan karena malu
3).  Power rape yaitu pelecehan seksual yang saling tidak mengenal, pelaku bertindak cepat dan menguasai korban, dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan yakin korban akan menikmati
4). Anger rape, yaitu pelecehan seksual dimana korban menjadi marah dan balas dendam.
5). Sadistie rape yaitu pelecehan seksual dengan ciri kekejaman atau sampai pembunuhan.



2.1.3    Macam-Macam Pelecehan Seksual
1). Pelecehan seksual dengan orang yang kita kenal
·         Pelecehan oleh suami/mantan suami
·         Pelecehan yang dialami seorang wanita oleh pacar/mantan pacar
·         Pelecehan seorang wanita oleh teman kerja atau atasan
·         Pelecehan seksual pada anak-anak oleh anggota keluarga
2). Pelecehan seksual dengan orang yang tidak dikenal
·         Pelecehan di penjara
·         Pelecehan saat terjaid perang
3). Pelecehan seksual dengan ketakutan, dimana akan terjadi kekerasan jika korban menolak
4). Pelecehan dengan iming-iming atau paksa, dimana pelaku memiliki otoritas pada korban
5). Pelecehan seksual mental, dengan menyerang harga diri korban melalui kata-kata kasar, mempermalukan dengan memperlihatkan pornografi.

2.1.4    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
1). Faktor Masyarakat
·         kemiskinan
·         urbanisasi
·         keluarga ketergantungan obat
·         lingkungan kekerasan dan kriminalitas
2). Faktor Keluarga
·         keluarga yang sakit kelainan mental
·         keluarga yang kacau dan tidak bahagia
·         keluarga yang kurang akrab
3). Faktor Individu
·         wanita single, bercerai/ingin bercerai
·         berumur 17-28 tahun
·         ketergantungan obat
·         wanita hamil
·         pasangan yang cemburu berlebihan

2.1.5    Dampak  Pelecehan Seksual
1.      yang paling sering adalah ketidakberdayaan, kehilangan kontrol diri, takut, malu dan perasaan bersalah
2.      respon emosi korban terbagi menjadi dua, yaitu respon ekspresif  (ketakutan, kemarahan, gelisah, tegang, menangis terisak-isak) dan respon terkontrol (menyembunyikan perasaannya, tampil tenang, menunduk dan lembut)
3.      respon lain yaitu: mandi sebersih-bersihnya, pindah rumah, menambah pengamanan, membuang/menghancurkan benda yang berkaitan dengan pelecahan
4.      beberapa hari kemudian akan timbu memar/lecet pada bagian tubuh, sakit kepala, lelah, gangguan pola tidur, nyeri lambung, mual, muntah, nyeri pada daerah pacinela, gatal dan keluar darah pada vagina, marah, merasa terhina, menyalahkan diri sendiri, ingin balas dendam, takut akan penyiksaan diri dan kematian
5.      respon atau dampak jangka panjang : gelisah, mimpi buruk, phobia sendirian, merasa menjadi orang yang kotor dan menjijikkan, depresi, bahkan ada yang sampai menggunakan obat-obatan terlarang maupun ingin bunuh diri.


2.1.6    Perlindungan Hukum Pelecehan Seksual
Perlindungan hukum pasal-pasal yang mengatur tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Pencabulan pasal 289-296; 2,penghubungan pencabulan pasal 286-288. Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual mungkin belum masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Dari definisi tersebut pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak di harapkan oleh orang lain.
Konsepsi kekerasan menurut KUHP tertuang dalam pasal 289 KUHP diartikan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut hanya memberikan penjelasan penggunaan kekerasan secara fisik. Demikian juga kejahatan seksual dalam RUU KUHP terdapat pada bab tindak pidana kesusilaan mencakup 56 pasal ( 465-504 ) terdiri dalam 10 bagian, seperti : pelanggaran kesusilaan itu sendiri, pornografi dan porno aksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul ( mulai tindakan pidana bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah sampai dengan persetubuhan dengan anak-anak ).
Pasal dalam undang-undang yang berkaitan dengan tindak pelecehan seksual :
a.       Pasal 281-283 KUHP tentang kejahatan terhadap kesopanan
b.       Pasal 289-298 KUHP tentang pencabulan
c.        Pasal 506 KUHP tentang mucikari
d.      Undang-undang perlindungan anak (UUPA) no 23 tahun 2003
e.        Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

2.1.7    Cara mencegah pelecehan seksual
                        Terdapat beberapa cara untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual, diantaranya:
1.      Pelajari persoalan pelecehan seksual
2.      Mampu bertindak asertif dan berani mengatakan tidak (menolak)
3.       Menyebarkan informasi tentang pelecehan seksual
4.      Mau bertindak sebagai saksi
5.      Membantu korban
6.      Membentuk kelompok solidaritas
7.      Mengkampanyekan jaminan keamanan, khususnya bagi perempuan\
8.      Mengkampanyekan penegakan hukum bagi hak-hak perempuan

2.1.8    Hal-Hal yang Dilakukan Ketika Terjadi Pelecehan Seksual
·         Katakan TIDAK dengan tegas tanpa senyum dan minta maaf
·         Buat jurnal kejadian
·         Cari informasi tentang si peleceh dan orang-orang sekitarnya
·         Buat pernyataan tertulis kepada si peleceh, bahwa anda tidak suka dengan perilakunya
·         Hubungi atasan atau pihak yang berwenang atau yang mempunyai kedudukan, seperti polisi/bos/orang tua/tokoh agama/tokoh masyarakat dan jeaskan apa yang terjadi

2.1.9    Peran Petugas Kesehatan
·         Bersikap dengan santun dan jangan menyalahkan
·         Merawat gangguan kesehatan korban
·         Menulis semua hasil pemeriksaan sebagai bukti
·         Merawat kebutuhan jiwa dan berusaha untuk menajdi sahabat yang bisa dipercaya
·         Membantu dalam membuat keputusan
·         Memberikan motivasi dan arahan untuk bangkit kembali menatap mas adepan
·         Membantu untuk memberitahukan kepada orang tua/keluarga korban

2.2       Pekerja seks komersial (PSK/pelacur)
2.2.1    Pengertian
·         Pekerja Seks Komersial (PSK)
Adalah setiap orang yang memperjualbelikan seks dengan uang atau dengan berbagai macam keuntungan. Pada umumnya penyediaan seksual dengan imbalan uang.
PSK biasanya hanya dilihat sari aspek kesusilaan, dan hanya ditujukan pada perempuan yang menjadi PSK nya, tetapi tidak kepada laki-laki atau konsumen yang menggunakan jasa mereka, dimana laki-laki yang membeli seks diberi istilah klien atau customer atau pelanggan.
·         Prostitusi
 Adalah bentuk penyimpangan seks dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi
·         Pelacuran
Adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan tubuhnya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah
·         Eksploitasi seks
Adalah penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin oleh pihak pria

2.2.2    Kategori Pelacuran
1.      Pergundikan
2.      Tante girang
3.      Gadis penggilan
4.      Gadis bar
5.      Gadis juvenile delinguent
6.      Gadis binal
7.      Gadis taksi
8.      Penggali emas
9.      Hostes atau pramuria
10.  Promiskuitas

2.2.3    Ciri khas Pekerja Seks Komersial
1.      Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria)
2.      Biasanya cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif, menarik
3.      Muda
4.      Pakaian mencolok, beraneka warna, eksentrik
5.      Teknik seksual mekanistik, cepat, tidak hadir secara psikis
6.      Mobile
7.      Berasal dari strata ekonomi rendah
8.      60-80 % intelektual normal

2.2.4        Motif yang melatarbelakangi
1.      Kesulitan hidup
2.      Nafsu seks abnormal
3.      Tekanan ekonomi
4.      Aspirasi materiil tinggi
5.      Kompensasi terhadap perasaan inferior
6.      Ingin tahu pada masalah seks
7.      Pemberontakan terhadap otoritas orang tua
8.      Simbol keberanian dan kegagahan
9.      Gadis dari daerah slums dengan lingkungan immoril
10.  Bujuk rayu laki-laki dan/calo
11.  Stimulasi seksual melalui film, gambar, bacaan
12.  Pelayan dan pembantu RT
13.  Penundaan perkawinan
14.  Disorganisasi dan disintegrasi kehidupan keluarga
15.  Mobilitas pekerjaan atau jabatan pria
16.  Ambisi besar mendapatkan status sosial ekonomi tinggi
17.  Mudah dilakukan
18.  Pecandu narkoba
19.  Traumatis cinta
20.  Ajakan teman
21.  Tidak dipuaskan pasangan/suami

2.2.5    Jenis-jenis Prostitusi
·         Menurut jumlahnya, prostitusi dibagi dalam:
1.      Individual
2.      Bantuan organisasi dan sindikat
·         Menurut lokasinya
1.      Segregasi/lokalisasi
2.      Rumah panggilan ‘call house”
3.      Dibalik front organisasi/bisnis terhormat

2.2.6        Klasifikasi Prostitusi
1.         Sektor formal (kompleks lokalisasi, panti pijat, club malam, perempuan pendamping, penyedia perempuan panggilan)
2.         Sektor informal (berorientasi secara tidak tetap)
2.2.7    Faktor-faktor penyebab adanya PSK (pekerja seks komersial) adalah :
a. Kemiskinan
Diantara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat structural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.
Kebutuhan yang semakin banyak pada seorang perempuan memaksa dia untuk mencari sebuah pekerjaan dengan penghasilan yang memuaskan namun kadang dari beberapa mereka harus bekerja sebagai PSK untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.
b. Kekerasan seksual
Penelitian menunjukkan banyak faktor penyebab perempuan menjadi PSK diantaranya kekerasan seksual seperti perkosaan oleh bapak kandung, paman, guru dan sebagainya.
c. Penipuan
Faktor lain yaitu, penipuan dan pemaksaan dengan berkedok agen penyalur kerja. Kasus penjualan anak perempuan oleh orangtua sendiri pun juga kerap ditemui.
d. Pornografi
Menurut definisi Undang-undang Anti Pornografi, pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada public alat vital dan bagian – bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitan dan seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain.
e.         Persoalan – persoalan psikologis
Ø  Akibat gaya hidup modern
Seseorang perempuan pastinya ingin tampil dengan keindahan tubuh dan barang-barang yang dikenalakannya. Namun ada dari beberapa mereka yang terpojok karena masalah keuangan untuk pemenuhan keinginan tersebut maka mereka mengambil jalan akhir dengan menjadi PSK untuk pemuasan dirinya.
Ø  Broken home
Kehidupan keluarga yang kurang baik dapat memaksa seseorang remaja untuk melakukan hala-hal yang kurang baik di luar rumah dan itu dimanfaatkan oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab dengan mengajaknya bekerja sebagai PSK.
Ø  Kenangan masa kecil yang buruk
Tindak pelecehan yang semakin meningkat pada seorang perempuan bahkan adanya pemerkosaan pada anak kecil bisa menjadi faktor dia menjadi seorang PSK.

2.2.8    Faktor-faktor pendukung perilaku seks pada remaja
Pekerja seks komersial kebanyakan terjadi pada remaja yang diawali dengan terjadinya pergaulan kearah seks bebas.dimana menurut para ahli, alasan seorang remaja melakukan seks adalah sebagai berikut :

1) Tekanan yang datang dari teman pergaulannya
Lingkungan pergaulan yang dimasuki oleh seorang remaja dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks, bagi remaja tersebut tekanan dari teman-temannyaitu dirasakan lebih kuat dari pada yang didapat dari pacarnya sendiri.
2) Adanya tekanan dari pacar
Karena kebutuhan seorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapinya. dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual, melainkan juga sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri selayaknya orang dewasa.
3) Adanya kebutuhan badaniah
Seks menurut para ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, jadi wajar jika semua orang tidak terkecuali remaja, menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tidak sepadan dengan resiko yang akan dihadapinya.
4) Rasa penasaran
Pada usia remaja. keingintahuannya begitu besar terhadap seks, apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa terasa nikmat, ditambah lagi adanya infomasi yang tidak terbatas masuknya, maka rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan apa yang diharapkan.
5) Pelampiasan diri
Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri, misalnya karena terlanjur berbuat, seorang remaja perempuan biasanya berpendapat sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya, maka dalam pikirannya tersebut ia akan merasa putus asa dan mencari pelampiasan yang akan menjerumuskannya dalam pergaulan bebas.
Faktor lainnya datang dari lingkungan keluarga. bagi seorang remaja mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orang tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orang tua dan anak), akibatnya remaja tersebut merasa tertekan sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak di kehendaki, perlu ada perhatian dari kita bersama dengan cara memberikan informasi yang cukup mengenai pendidikan seks dan Pendidikan agama,Kalau tidak ada informasi dan pendidikan agama di khawatirkan remaja cendrung menyalah gunakan hasrat seksualnya tanpa kendali dan tanpa pencegahan sama sekali. semua menyedihkan, dan sekaligus berbahaya, hanya karena kurangnya tuntunan seksualitas yang merupakan bagian dari kemanusiaan kita sendiri. Kalau dikaitkan dengan kondisi saat ini maka sudah sewajarnyalah kita mendukung RUU APP.

2.2.9    Faktor-faktor yang menyebabkan PSK dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bermoral :
1.Pekerjaan ini identik dengan perzinahan yang merupakan suatu kegiatan seks yang dianggap tidak bermoral oleh banyak agama
2.Perilaku seksual oleh masyarakat dianggap sebagai kegiatan yang berkaitan dengan tugas reproduksi yang tidak seharusnya digunakan secara bebas demi untuk memperoleh uang.
3.Pelacuran dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan keluarga yang dibentuk melalui perkawinan dan melecehkan nilai sakral perkawinan.
4.Kaum wanita membenci pelacuran karena dianggap sebagai pecuri cinta dari laki-laki (suami) mereka sekaligus pencuri hartanya

2.2.10  Dampak bagi PSK
1.Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti Gonorrhoe, HIV/AIDS, siphilis, Klamidia
2.Timbul kehamilan yang pada umumnya tidak diinginkan
3.Timbul Kekerasan
4.Mengganggu ketenangan lingkungan tempat tinggal
5.Pelacur pada umumnya cepat menjadi tua dan layu, karena:
o   Kebiasaan buruk
o   Badan lemas dan lelah
o   Badan dimanipulir dan di eksploitasi
o   PMS termasuk HIV/AIDS, kehamilan, infertil
o   Kekerasan
o   Penghasilan lambat laun menurun
o   Usia lebih dari 30 tahun biasanya mengalami konflik jiwa

2.2.11  Penanganan masalah PSK:
a. Keluarga
1.     Meningkatkan pendidikan anak-anak terutama mengenalkan pendidikan seks secara dini agar terhindar dari perilaku seks bebas.
2.     Meningkatkan bimbingan agama sebagai tameng agar terhindar dari perbuatan dosa.
b. Masyarakat
Meningkatkan kepedulian dan melakukan pendekatan terhadap kehidupan PSK.
c. Pemerintah
1. Memperbanyak tempat atau panti rehabilitasi.
2. Meregulasi undang-undang khusus tentang PSK.
3.  Meningkatkan keamanan dengan lebih menggiatkan razia lokalisasi PSK untuk dijaring dan mendapatkan rehabilitasi.

2.2.12  Penanggulangan prostitusi
1. Preventif
•Penyempurnaan UU larangan/pengaturan penyelenggaraan pelacuran
•Intensifikasi pendidikan keagamaan
•Kesibukan untuk penyaluran energi yang positif
•Memperluas lapangan kerja
•Pendidikan seks
•Koordinasi berbagai instansi untuk pencegahan/penyebaran pelacuran
•Penyitaan buku, film dan gambar porno
•Meningkatkan kesejahteraan rakyat

2.     Represif dan kuratif (menekan, menghapuskan dan menyembuhkan wanita dari ketunasusilaannya)
•Melakukan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat terhadap lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi
•Aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi
•Penyempurnaan tempat penampungan dan pembinaan
•Pemberian pengobatan
•Membuka lapangan kerja baru
•Pendekatan keluarga
•Mencarikan pasangan hidup
•Pemerataan penduduk dan perluasan lapangan kerja

2.2.13  Peran sebagai petugas kesehatan
1.Memberikan pelayanan secara sopan seperti melayani pasien-pasien yang lain
2.Belajar membuat diagnosa dan mengobati PMS
3.Mengenal berbagai jenis obat yang masih efektif, terbaru, murah dan cobalah menjaga kelangsungan pengadaan obat
4.Cari pengadaan kondom yang cukup dan rutin bagi masyarakat.
5.Memastikan ketersediaan pelayanan kesehatan termasuk KB, perawatan PMS dan obat yang terjangkau serta penanggulangan obat terlarang.

2.3      Pornografi dan Pornoaksi

2.3.1  Pornografi dan Pornografi Dalam Pandangan Beberapa Peneliti
Tolok ukur peradaban suatu masyarakat tercermin dari penjagaan nilai-nilai moral dalam setiap aspek hidupnya. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebaikan memberi peluang yang sangat besar bagi hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut. Pada dasarnya susunan sosial adalah susunan moral.
Masyarakat disusun menurut peraturan moral. Kegiatan akal budi yang mengarahkan manusia pada pemahaman tentang tatacara dan perjalanan kehidupan sosial, sifat dunia sosial, interaksi sosial antar sesama manusia, tidak dapat dikatakan lain kecuali nilai moral itu sendiri (Berry, 1993: 33).
Salah satu masalah yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan nilainilai sosial, khususnya nilai moral, adalah makin maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk kejahatan sosial berupa perbuatan yang diasosiasikan sebagai eksploitasi seksual rendahan. Seksualitas pada dirinya sendiri memang mampu mengungkapkan banyak hal tentang manusia. Kebermaknaannya meliputi banyak dimensi yakni dimensi biologis-fisik, behavioural, klinis, psiko-sosial, sosiokultural (Gunawan, 1993: 2) dan yang tidak kalah penting adalah dimensi relegius. Akan tetapi jika keluhuran dan kesakralan maknanya direduksikan pada nilai komersial, tentu ini menjadi masalah besar.  Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkan seseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah.  Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyahkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan (Gunawan, 1993: 2).
 Pornografi dan pornoaksi memang sudah lama diperdebatkan, diprotes dan bahkan ditentang banyak kalangan. Ironisnya, penyelesaian terhadap masalah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Penyelesaian umumnya terhambat karena terjebak pada perdebatan tentang definisi “pornografi”. Masingmasing pihak memiliki penafsiran yang berbeda yang dapat ditarik ulur sesuai kepentingan si penafsir. Perangkat hukum pun belum memiliki konsep yang jelas tentang masalah ini, akibatnya kasus-kasus pornografi pun lewat demikian saja. KUHP Indonesia mencantumkan batasan  yang sangat tidak jelas berkaitan dengan pornografi. Pasal 282 ayat 1 misalnya, tertulis: barangsiapa menyiarkan, Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1 mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Pasal lain yang juga tidak banyak memberi penjelasan adalah pasal 533 ayat 1, di dalamnya tertulis: barangsiapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Kata-kata “melanggar kesusilaan” dan “mampu membangkitkan nafsu birahi remaja” pengertiannya seringkali ditarik ulur. Karena itu, pasal-pasal ini sering  dianggap sebagai pasal karet, artinya memiliki banyak tafsiran. Di saat perdebatan tentang definisi masih berlangsung, bersamaan dengan itu dampak pornografi terus menggoyang sendi-sendi kehidupan. 
 Secara umum ada dua hal yang dapat dilihat sebagai penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi. Pertama, budaya patriarkhi dan kedua kepentingan komersialisme. Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinya sebagai  meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan budaya patriarkhi dengan menonjolkan  mainstream sosok perempuan yang stereotipikal. Disebut  stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangka dan subjektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugikan yang diberi label (Rustiani, 1996: 60). Opini yang digulirkan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai “mahluk fungsional bagi laki-laki”, lebih khusus lagi untuk “kegunaan seksual” (Septiawati, 1999: 14). Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasan komersialisasi. Kekuatan feminin yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme (Risangayu, 1999:  100). Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya. Dunia perfilman bahkan secara gamblang memanfaatkan seks untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya, demikian pula gambar iklan, lukisan, lirik lagu beserta penampilan artis-artisnya, novel serta produk-produk di berbagai bidang lainnya (Gunawan, 1993: 2).
 Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi:  Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat. Supartiningsih, Melacak AkarPornografi Robert N. Beck mengartikan filsafat sosial dengan bertitik tolak dari sifat kritis filsafat terhadap masalah-masalah sosial.
Filsafat sosial dengan demikian tidak hanya menganalisa permasalahan dengan berhenti pada fakta empiris, seperti dalam ilmu-ilmu sosial (sosiologi), tetapi lebih dari itu filsafat sosial berkepentingan untuk mengungkap akar permasalahan sosial secara fundamental. Filsafat sosial mencoba memahami kenyataan sosial dengan melibatkan refleksi pengalaman manusia sendiri sebagai bagian dari sosialitas. Filsafat sosial memahami pengalaman sosial dalam totalitas dan nilai yang tuntas, artinya sampai menyentuh persoalan yang paling mendasar dan menyeluruh (Sudiarja, 1995: 2-3). Salah satu unsur mendasar yang tidak dapat dilepaskan dari kenyataan sosial adalah nilai-nilai sosial. David Berry melihat bahwa susunan sosial pada dasarnya adalah susunan moral (Berry, 1993: 33). Keterkaitan nilai dengan kenyataan sosial ini merupakan salah satu bidang kajian filsafat sosial yang mengerucut dalam etika sosial. Tulisan ini mencoba untuk melihat pornografi dan pornoaksi dengan sudut pandang tersebut.

2.3.2  Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
Perdebatan tentang pro kontra pornografi memang bukan hal baru. Reaksi masyarakat terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi yang sedang dikaji DPR RI cukup mencerminkan kondisi masyarakat dalam menyikapi pornografi. Salah satu masalah krusial yang tak kunjung usai diperdebatkan adalah masalah batasan pornografi itu sendiri. Untuk itu perlu dilihat secara jernih arti istilah ini.  Istilah pornografi bila dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno  “porne” yang berarti wanita jalang, dan  “graphos”yang artinya gambar atau lukisan.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 696), pornografi diartikan sebagai: (1). Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2). Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks. Esther D. Reed (1994: 66) berpendapat bahwa pornografi secara material menyatukan seks atau eksposur yang berhubungan dengan kelamin sehingga dapat menurunkan martabat atau harga diri. Beberapa istilah yang seringkali dikaitkan dengan pornografi di antaranya adalah  pornokitsch yang bermakna selera rendah;  obscenity yang bermakna kecabulan, keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesusilaan dan kesopanan. Bila hal-hal yang terkandung maknanya dalam pornografi ini diwujudkan melalui tindakan maka itulah yang disebut dengan pornoaksi (Widarti, 2003: 8). FX. Rudi Gunawan (2001: 18) mengidentikkan pornoaksi dengan  sexual behaviour atau perilaku seksual yang mencakup cara berpakaian seronok, gerak-gerik dan Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 16 ekspresi wajah yang menggoda, suara yang mendesah dan majalah porno yang menampilkan gambar nude. Pornografi muncul dalam berbagai perwujudan:
1.            Film. Pengertian porno dalam hal ini adalah:
a.       adegan atau kesan pria atau wanita telanjang, eksposure organ vital, ciuman, adegan, gerakan, suara persenggamaan atau kesan persenggamaan;
b.      perilaku seksual yang tampil secara fisikal, kesan dan verbal, sentuhan, prostitusi, kontak seksual agresif dan seterusnya; c
c.        kesan-kesan seksual yang ditampilkan secara tidak langsung, misal lewat asosiasi, ilusi, sindiran atau kata-kata atau simbol-simbol, termasuk juga penampilan wacana seksual yang jelas walau tak diadegankan secara langsung.
2.         Musik. Pengertian porno dalam hal ini adalah syair dan bunyi yang mengantarkan atau mengesankan aktivitas dan organ seksual serta bagianbagian tubuh tertentu secara porno, baik secara eksplisit maupun implisit.
3.         Tabloid/majalah/koran/buku. Pengertian porno adalah:
a.       gambar atau kata-kata yang mengeksplisitasi seks, syahwat atau penyimpangan seksual serta gambar-gambar telanjang atau setengah telanjang sehingga perhatian pembaca langsung tertuju pada bagian-bagian tertentu yang bisa membangkitkan rangsangan seksual;
b.      gambar atau kata-kata yang bersifat erotis maupun yang memberikan kemungkinan berdampak erotis (Usa, 1998:3).
Pornografi secara kasar merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia, dibuat dengan suatu tujuan untuk fantasi (Blackburn, 1994: 293). Tjipta Lesmana (1995: 109) merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain: 
1.       Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak.
2.       Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok.
3.       Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat atau membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan secara umum. Supartiningsih, Melacak Akar Pornografi

2.3.3  Kontroversi Seputar Pornografi
Persoalan pornografi memang menimbulkan banyak kontroversi dalam masyarakat. Yasraf Amir Piliang mengidentifikasi kontroversi ini, pertama:
·         kontroversi semiotis. Kontroversi ini terjadi di seputar makna pornografi, batas porno atau tidak porno, batas pornografi dan sensualitas, batas makna estetik dan non estetik. Apa yang dikatakan oleh masyarakat sebagai porno dan amoral, oleh foto model, pengarang ataupun pemilik media dianggap hanya sebagai  sebuah bentuk estetik dan seni sensualitas belaka.
·         Kedua, kontroversi sosiologis. Dalam hal ini, gambar atau tulisan yang disuguhkan sebagai komoditas untuk masyarakat luas tidak dapat dilihat sebagai sebuah fenomena estetik atau semiotik belaka. lebih dari itu, ia bersangkut paut dengan persoalan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang lebih luas, khususnya kebudayaan massa (mass culture). Tepatnya gambar atau tulisan itu merupakan bagian integral sebuah konstruksi sosial budaya massa dengan segala muatan ideologis di dalamnya.
Danny Scoccia dalam  Ethics (1996:778) menyebut ada beberapa  karakteristik atau kategori pornografi.
1.      Pornografi yang isinya tidak menggairahkan atau menurunkan martabat wanita; bahan yang digunakan oleh feminis yang melihat ‘pornografi’ sebagai term yang lebih rendah untuk menyebut ‘nonsexist erotica’.
2.      Pornografi yang tidak berisi degradasi eksplisit atau tema kekuasaan, tapi tetap menggairahkan (misalnya, peran wanita yang bodoh, tolol dan dengan keinginan yang sangat besar untuk merendahkan diri terhadap laki-laki).
3.      Pornografi yang tidak kasar, yang berisi degradasi eksplisit atau tema kekuasaan (misalnya foto wanita telanjang yang sedang buang air kecil atau yang di tangannya terdapat rantai anjing, sambil berlutut dan dikendalikan).
4.      Pornografi yang kasar, berisi pelukisan wanita yang sedang diperkosa, dianiaya, diikat dan seterusnya; dalam beberapa materi merupakan korban dari penggambaran yang dinikmati dan diijinkan sebagai tindak seksual padanya (atau kesempatan bagi laki-laki) dalam penderitaan, dan dalam beberapa keterpaksaan dan teror (Widarti, 2003: 9).

2.3.4  Akar Permasalahan Pornografi dan Pornoaksi

 Secara umum maraknya pornografi dan pornoaksi ada dua faktor dominan: budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Kata patriarkhi sering ditunjuk oleh kaum feminis sebagai biang keladi keterpurukan perempuan. Dalam wacana gender, patriarkhi dimaknai sebagai sebuah sistem sosial yang di dalam tata kekeluargaan, sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting.  Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, antara lain lembaga perkawinan, institusi Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 18 ketenagakerjaan dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang dari ‘hukum ayah’ ke hukum suami, hukum bos laki-laki dan  hukum laki-laki secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi (Rustiani, 1996: 59). Seorang feminis radikal yang cukup tersohor bernama Kate Millet dalam bukunya  “Sexual Politics” (terbit tahun 1970) mengatakan bahwa akar dari penindasan kaum perempuan terkubur dalam sistem gender yang sangat patriarkhis. Ia menyoroti seks sebagai alat politis karena relasi perempuan dan laki-laki menjadi paradigma seluruh relasi kekuasaan. Ia menyatakan bahwa di tiap relasi yang selalu dimenangkan adalah supremasi laki-laki. Sistem opresi yang berbasis kontrol laki-laki atas perempuan ini berlanjut pada pembentukan nilai-nilai , emosi serta logika di tiap tahap penting kehidupan manusia. Karena demikian kuatnya kontrol tersebut, ia sampai merasuk dalam kehidupan akademi, religi dan keluarga. Hal ini kian melegitimasi subordinasi perempuan. Akibatnya,  semua yang terinternalisasi dalam diri tiap perempuan adalah rasa inferioritas terhadap laki-laki (Tong, 1998: 49).
          Kaum feminis radikal dalam menanggapi pornografi ini melihat bahwa pornografi tidak lain adalah propaganda patriarkhal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan. Dalam panggung pornografi, laki-laki eksis untuk dirinya sementara perempuan eksis untuk laki-laki. Andrea Dworkin dan Chatarine Mac Kinnon mendefinisikan pornografi sebagai subordinasi perempuan lewat gambar dan suara yang juga meliputi dehumanisasi perempuan sebagai objek seks, komoditas, barang, penghinaan, menyukai disakiti atau diperkosa. Pornografi juga mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak hanya di kamar tidur tapi juga di wilayah publik. Para pornografer dituding sebagai agen diskriminasi seksual dan bersalah karena merampok hak-hak sipil perempuan. Bisnis pornografi menjadi lahan subur bagi pesan-pesan kebencian terhadap (misoginis), kekerasan, dominasi dan penaklukan (Venny, tt: 33). Senada dengan itu, Susan Brown Miller mengidentifikasi bahwa tipikal porno selalu berbentuk tubuh perempuan telanjang dengan dada dan genital yang terekspos. Bagi laki-laki, lanjutnya, tubuh yang telanjang adalah memalukan bagi perempuan. Karena itu, bagian tubuh yang sangat privat dalam  pornografi bisa menjadi properti privat para laki-laki. pada saat yang bersamaan fantasi tradisi kuno, kesucian, universal, beserta seluruh instrumen patriarkhal dari kekuasaan laki-laki campur aduk menelikung diri perempuan (Tong, 1998: 36). Faktor  kedua yang tidak kalah berpengaruh adalah komersialisme. Pornografi menjadikan eksploitasi seksual sebagai hal yang diperdagangkan. Keterkaitan antara seksualitas dengan sisi ekonomi ini tampak dalam kegiatan produksi, distribusi dan transaksi hasrat. Sistem ekonomi seperti ini pada gilirannya menjelma menjadi libidonomics, yakni sebuah sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan dan kegairahan dalam masyarakat. JF Loytard dalam “Libidinal Economy” (1993) juga berpendapat bahwa di dalam tubuh ekonomi (kapitalisme global) berkembang sebuah logika yang disebutnya logika hasrat (the logics of desire). Maksud yang terkandung dalam ungkapan ini adalah bahwa lalu lintas ekonomi disertai oleh lalu lintas hasrat. Pertumbuhan ekonomi Supartiningsih, Melacak AkarPornografi ditentukan dari bagaimana hasrat setiap konsumen dirangsang lewat trik-trik sensualitas komoditas. Rangsangan hasrat menjadi titik sentral dari mesin ekonomi: desiring machine. Akibat lebih lanjut adalah kapitalisasi libido: setiap potensi libido dijadikan sebagai komoditas; dan menarik keuntungan dari status komersialnya. Segala trik, taktik dan strategi digunakan untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk kesenangan, memperoleh nilai tambah ekonomi.
WF Haug dalam “Critique of Commodity Aesthetics” (1986) mengatakan bahwa penggunaan unsur seks dan sensualitas yang makin marak dalam berbagai media tidak dapat dilepaskan dari diterapkannya prinsip estetika:  commodity aesthetics (estetika komoditas). Penekanan sensualitas pada prinsip ini pada gilirannya menghasilkan apa yang oleh Max Scheler disebut sebagai sensualisasi seluruh wajah kehidupan, khususnya sensualitas pikiran. Tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Scoot Findlay dalam “The Meaning of Sex”. Unsur seksualitas ditempatkan sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture industry) yang menjadikan seks sebagai obat mujarab untuk kesuksesan sebuah industri.



2.3.5  Pornografi-Pornoaksi dan Nilai-Nilai Sosial
Masyarakat Indonesia, yang notabene masyarakat Timur, acapkali dianggap masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Dalam hal nilai dan perilaku seksualitas, ada sejumlah anggapan yang membedakan -- bahkan mempertentangkan – antara masyarakat Barat dan Timur. Salah satu anggapan yang sering dijumpai di tengah masyarakat adalah: Barat dikenal sebagai lambang pengumbaran nafsu seksual secara bebas tanpa norma dan susila. Sementara Timur menjadi lambang kesucian, keagungan dan pengekangan diri dari nafsu seksual. Karena itu jika ada warga masyarakat Timur yang tidak sesuai dengan anggapan ini maka dituduh sebagai kelainan atau penyimpangan dari nilai budaya dan identitas Timur (Heryanto, 1994: 137).  Akibat lebih lanjut dari adanya pendapat ini adalah upaya untuk mengarahkan tuduhan bahwa pornografi dan pornoaksi yang marak di tengah masyarakat disebabkan karena masuknya budaya Barat yang serba vulgar. Hal ini semakin diperkuat dengan berbagai citra, berita dan hiburan yang dipasarkan oleh industri media massa dan hiburan Barat. Aneka berita sensasional tentang petualangan, kebebasan dan sikap permisif Barat dalam hal seks sering terdengar. Akan tetapi sungguhkah Barat cukup memadai untuk dijadikan kambing hitam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 110 bagi semua permasalahan pornografi yang ada di tanah air? Bukankah di tanah
air sejak zaman dulu juga dikenal beberapa produk budaya yang juga sarat unsur seksualitas? Serat Centini, beberapa  ornamen candi, sebutan ‘nduk’ dan ‘wuk’ untuk anak perempuan serta ‘tole’ untuk anak laki-laki adalah beberapa hal yang sarat unsur seksualitas. Pertanyaannya kemudian adalah cukup memadaikah Barat dijadikan sebagai kambing hitam bagi persoalan pornografi yang membelit masyarakat Indonesia? Ariel Heryanto menilai anggapan tersebut lebih sekedar mitos tentang seks antara Barat dan Timur. Menurutnya, perhatian masyarakat Indonesia pada seksualitas ‘liberal’ Barat bisa jadi melebihi perhatian yang diberikan oleh orang Barat sendiri. Disamping memproduksi film murahan yang berbau semi pornografi atau penuh kekerasan darah, Barat juga menjadi pusat produksi film-film yang sangat filosofis, politis, etis, relegius dan estetik. Mengapa film-film seperti itu tidak diputar di Indonesia? Karena tak mendatangkan laba? Mengapa? Karena tak cukup laris? Karena publik Indonesia memang suka film yang penuh adegan seks? Mengapa? Karena esensi jati dirinya? Atau karena mereka dilatih berselera demikian oleh industri film? (Heryanto, 1994: 139).
Setiap masyarakat  selalu memiliki sifat-sifat yang kompleks, majemuk dan penuh unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena itu tidak tepat untuk membuat gambaran karikatural tentang sebuah masyarakat secara homogen dan mempertentangkannya dengan masyarakat lain. Dengan lain perkataan, Barat tidak adil untuk dijadikan sebagai penanggungjawab semua persoalan pornografi yang ada, meski tidak dapat dipungkiri hal itu juga menyumbang keruwetan persoalan. Tapi bukan satu-satunya. Seperti telah disinggung di depan  bahwa seksualitas secara langsung terkait dengan serangkaian luas  konteks sosial. Mengapa? karena ia mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat yang bersangkutan, baik nilai yang berdimensi psikis, sosial maupun human relegius (Gunawan, 2001: 12). Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditas mengakibatkan seseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu,konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah. Dalam suatu sistem sosial yang di dalamnya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai, tentu hal ini akan sangat berpengaruh. Hal ini lebih kentara bila dilihat bahwa pada dasarnya susunan sosial adalah susunan moral. Masyarakat disusun menurut peraturan moral. Maka pornografi dan pornoaksi yang tidak lain merupakan eksploitasi sosial mengancam pilar nilai-nilai moral yang notabene merupakan salah satu nilai terpenting dalam suatu bangunan sosial. Susunan moral kehidupan sosial dapat mempertimbangkan peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat dalam tindak sosial dan peraturan menurut  tata cara bagi penyusunan kebenaran sosial. Peraturan yang demikian ini dikenal dengan norma (Berry, 1993: 35).  Norma merupakan asas untuk  penyusunan kehidupan sosial. Norma pada gilirannya juga dapat memicu perubahan sosial. Artinya, norma sosial dapat menyebabkan perubahan dalam struktur masyarakat. Perubahan dalam suatu masyarakat memang bukan hal yang salah. Bahkan Supartiningsih, Melacak AkarPornografi 11perubahan merupakan ciri inheren yang ada dalam masyarakat. Masyarakat manusia adalah masyarakat yang dinamis dan terbuka, bukan suatu dunia yang tertutup (umwelt). Tetapi tidak setiap perubahan itu akan mengarah ke kemajuan. Kemajuan suatu masyarakat dapat dinilai bila perubahan yang terjadi justru mengarah pada ketinggian martabat manusia. Artinya, sejauhmana perubahan yang terjadi mampu mengakomodir kesejatian dan kesemestaan manusiawi. Pertanyaannya kemudian apakah pornografi dan pornoaksi membawa pengaruh dalam tatanan sosial? Tentu dengan mudah jawabnya adalah: ya. Diakui atau tidak pornografi dan pornoaksi sangat mempengaruhi nilai-nilai moral -- yang sekaligus juga nilai-nilai  sosial. Perubahan sosial yang terjadi dalam hal ini menjadi sebuah keniscayaan. Meski perlu dicermati apakah ia mengarah pada kemajuan atau tidak. Untuk bisa menjawabnya, satu pertanyaan lebih lanjut dapat diajukan: apakah perubahan sosial yang terjadi mengarah pada kepenuhan dimensi manusiawi ataukah justru sebaliknya? Agaknya yang kedua merupakan hal yang dominan terjadi.












BAB 3
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Pelecehan Seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, melecehkan dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harga diri orang yang diganggunya.
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah setiap orang yang memperjualbelikan seks dengan uang atau dengan berbagai macam keuntungan. Pada umumnya penyediaan seksual dengan imbalan uang.
Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk kejahatan sosial berupa perbuatan yang diasosiasikan sebagai eksploitasi seksual rendahan.

3.2       Saran
Sebagai calon bidan, kita harus dapat memberikan konseling kepada masyarakat terutama perempuan. Pendidikan seksual juga penting untuk diberikan sejak dini agar pelecehan seksual, PSK, pornografi dan pornoaksi dapat diminimalisir.













DAFTAR PUSTAKA









No comments:

Post a Comment

Ilmu Kesehatan Masyarakat ( Public Health )

Bagi sebagian orang mungkin banyak yang sudah tidak asing lagi mendengar kata "IKM" atau Ilmu Kesehatan Masyarakat, namun ...