2.1 Penghargaan
Penghargaan adalah sebuah bentuk apresiasi kepada suatu prestasi tertentu yang diberikan baik oleh perorangan ataupun suatu lembaga .
Bidan sebagai suatu profesi tenaga kesehatan harus bisa mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat. Karena inilah bidan memang sudah seharusnya mendapat penghargaan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Penghargaan yang diberikan kepada bidan tidak hanya berupa imbalan jasa tetapi juga dalam bentuk pengakuan profesi dan pemberian kewenangan atau hak untuk menjalankan praktik sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Dengan adanya penghargaan seperti yang disebutkan diatas, akan mendorong bidan untuk meningkatkan kinerja mereka sebagai tenaga kesehatan untuk masyarakat. Mereka juga akan lebih giat untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan dan potensi mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu standar profesi bidan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3, hak adalah kewenangan untuk berbuat sesuatu yang telah ditentukan oleh undang-undang atau aturan tertentu. Sebagai suatu profesi, bidan memiliki organisasi profesi yaitu Ikatan Bidan Indonesia atau disingkat IBI yang mengatur hak dan kewajiban serta penghargaan dan sanksi bagi bidan. Setiap bidan yang telah menyelesaikan pendidikan kebidanan berhak dan wajib menjadi anggota IBI.
Hak bidan :
a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
c. Bidan berhak menolak keinginan pasien atau klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi.
d. Bidan berhak atas privasi atau kedirian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien,keluarga ataupun profesi lain.
e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
f. Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
g. Bidan berhak mendapatkan kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
Wewenang bidan :
a. Pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan untuk mendekatkan pelayanan kegawatandaruratan obstetrik dan neonatal.
b. Bidan harus melaksanakan tugas kewenagan sesuai standar profesi, memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai bidan, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku di wilayahnya dan bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dengan mengutamakan keselamatan ibu dan bayi.
c. Pelayanan kebidanan kepada wanita oleh bidan meliputi pelayanan pada masa pranikah termasuk remaja putri, prahamil, kehamilan, persalinan, nifas, menyusui, dan masa antara kehamilan.
d. Dan masih banyak lagi.
Dalam lingkup IBI, setiap anggota memiliki beberapa hak tertentu sesuai dengan kedudukannya, yaitu:
1. Anggota Biasa
a. Berhak mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh organisasi.
b. Berhak mengemukakan pendapat, saran, dan usul untuk kepentingan organisasi.
c. Berhak memilih dan dipilih.
2. Anggota Luar Bisaa
a. Dapat mengikuti kegiatan yang dilakukan organisasi.
b. Dapat mengemukakan pendapat, saran, dan usul untuk kepentingan organisasi.
3. Anggota Kehormatan
Dapat mengemukakan pendapat,saran,dan usul untuk kepentingan organisasi.
2.1.1 PENGHARGAAN BAGI BIDAN DI INDONESIA
Bagi bidan desa yang berhasil menciptakan atau membentuk wilayah atau desa binaanya menjadi “Desa Siaga”, misalnya didaerah Cirebon, Kuningan. Bagi bidan desa yang berhasil menciptakan atau membentuk “Suami Siaga”, “Donor Darah Berjalan” wilayah atau desa binaannya.
2.1.2 PENGHARGAAN BAGI MAHASISWA BIDAN
Bagi mahasisiwa DIII kebidanan yang berprestasi akan mendapatkan penghargaan berupa beasiswa dari Dinas Kesehatan Kabupaten dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS) setiap 4 bulan sekali selama 3 tahun pendidikan kebidanan. Penghargaan juga diberikan kepada bidan yang berprestasi (bidan teladan). Selain itu, bidan juga dapat diberi beasiswa. Bidan sebagai petugas kesehatan sering berhadapan dengan masalah etik yang berhubungan dengan hukum. Masalah dapat diselesaikan dengan hukum , tetapi belum tentu dapat diselesaikan berdasarkan prinsip dan nilai etik.
2.2 Sanksi
Tidak hanya memberikan penghargaan bagi bidan yang mampu melaksanakan prakteknya sesuai kode etik dan standar profesi bidan, Setiap penyimpangan baik itu disengaja atau tidak, akan tetap di audit oleh dewan audit khusus yang telah dibentuk oleh organisasi bidan atau dinas kesehatan di kabupaten tersebut. Dan bila terbukti melakukan pelanggaran atau penyimpangan maka bidan tersebut akan mendapat sanksi yang tegas, supaya bidan tetap bekerja sesuai kewenangannya. Sanksi adalah imbalan negatif, imbalan yang berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan oleh hukum aturan yang berlaku. Sanksi berlaku bagi bidan yang melanggar kode etik dan hak/kewajiban bidan yang telah diatur oleh organisasi profesi. Bagi bidan yang melaksanakan pelayanan kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku(Kepmenkes RI No.900/SK/VII/2002). Dalam organisasi profesi kebidanan terdapat Majelis Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA) yang memiliki tugas :
1. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan bidang sesuai dengan ketetapan pengurus pusat.
2. Melaporkan hasil kegiatan di bidang tugasnya secara berkala
3. Memberikan saran dan pertimbangan yang perlu dalam rangka tugas pengurus pusat.
4. Membentuk tim teknis sesuai kebutuhan, tugas dan tanggung jawabnya ditentukan pengurus.
MPEB dan MPA merupakan majelis independen yang berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pengurus inti dalam organogram IBI tingkat nasional.
MPEB secara internal memberikan saran, pendapat, dan buah pikiran tentang masalah pelik yang sedang dihadapi, khususnya yang menyangkut pelaksanaan kode etik bidan dan pembelaan anggota.
MPEB dan MPA, bertugas mengkaji, menangani dan mendampingi anggota yang mengalami permasalahan dan praktik kebidanan serta masalah hukum. Kepengurusan MPEB dan MPA terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara, dan anggota. MPA tingkat pusat melaporkan pertanggungjawabannya kepada pengurus pusat IBI dan pada kongres nasional IBI. MPA tingkat provinsi melaporkan pertanggungjawabannya kepada IBI tingkat provinsi (pengurus daerah).
Tugas dan wewenang MPA dan MPEB adalah memberikan bimbingan dan pembinaan serta pengawasan etik profesi, meneliti dan menentukan adanya kesalahan atau kelalaian bidan dalam memberikan pelayanan. Etika profesi adalah norma-norma yang berlaku bagi bidan dalam memberikan pelayanan profesi seperti yang tercantum dalam kode etik bidan.
Anggota MPEB dan MPA, adalah:
1. Mantan pengurus IBI yang potensial.
2. Anggota yang memiliki perhatian tinggi untuk mengkaji berbagai aspek dan perubahan serta pelaksanaan kode etik bidan, pembelaan anggota, dan hal yang menyangkut hak serta perlindungan anggota.
3. Anggota yang berminat dibidang hukum.
Keberadaan MPEB bertujuan untuk:
1. Meningkatkan citra IBI dalam meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan bidan.
2. Membentuk lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Bidan Indonesia.
3. Meningkatkan kepercayaan diri anggota IBI.
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
Contoh sanksi bidan adalah pencabutan ijin praktek bidan, pencabutan SIPB sementara, atau bisa juga berupa denda. Penyimpangan yang dilakukan oleh bidan misalnya :
§ Bidan melakukan praktek aborsi,yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan karena termasuk tindakan kriminal.
§ Bidan tidak melakukan rujukan pada ibu yang mengalami persalinan premature, bidan ingin melakukan persalinan ini sendiri. Ini jelas tidak boleh dilakukan, dan harus dirujuk. Karena ini sudah bukan kewenangan bidan lagi, selain itu jika dilakukan oleh bidan itu sendiri,persalinan akan membahayakan ibu dan bayi yang dikandungnya.
2.2.1 Alur Sanksi Bidan
Malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kelalaian, kurangnya pengetahuan, faktor ekonomi, rutinitas,dan juga perubahan hubungan antara bidan dengan pasien. Untuk dapat mencegah terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan jaminan atau garansi akan keberhasilan usahanya, dalam melakukan tindakan harus ada informed consent, mencatat semua tindakan kedalam rekam medik, dan lain-lain.
Untuk penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.
Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan
2.3 KODE ETIK BIDAN
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota profesi yang bersngkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-larangan yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat. Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
- Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dari pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu setiap kode etik suatu profesi akan melarng berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kkode etik juga disebut kode kehormatan.
- Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota
Kesejahteraan ialah kesejahteraan materiil dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materiil anggota profesi kode etik umumnya menetapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
- Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga bertujuan untuk pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggungjawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang diperlukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
- Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan menigkatkan mutu organisasi profesi. Dari uraian di atas, jelas bahwa tujuan suatu profesi, menjaga dan memelihara kesejahtereaan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota, dan meningkatkan mutu profesi serta meningkatkan mutu organisasi profesi.
Penetapan Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh organisasi untuk para anggotanya. Penetapan kode etik IBI harus dilakukan dalam kongres IBI. Kode etik bidan di Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disyahkan dalam kongres nasional IBI X tahun 1988, sedang petunjuk pelaksanaanya disyahkan dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disyahkan pada kongres nasional IBI XII tahun 1998. Sebagai pedoman dalam berperilaku, kode etik bidan Indonesia mengandung beberapa kekuatan yang semuanya tertuang dalam mukadimah, tujuan dan bab.
2.3.1 Yang dapat dilakukan dalam kode etika menuntun atau panduan untuk disiplin profesi:
- Menuntun tingkah laku
- Menawarkan suatu kerangka kerja yang dapat meningkat kapasitas dalam
- Pengambilan keputusan moral yang efektif.
Ø Yang tidak dapat dilakukan:
- Tidak dapat menjamin etika praktek atau pengambilan keputusan.
- Tidak dapat mencegah timbulnya hal-hal yang tidak berguna.
- Tidak dapat dipindahkan dari tanggung jawab bidan.
- Tidak dapat menjamin kasus tertentu merupakan yang benar
Ø Persyaratan kode etik:
- Keterlibatan dan pemikiran penting (waktu dan alasan moral).
- Kemampuan (kapasitas dan kemauan) mengambil keputusan.
- Keterlibatan menjadi contoh moral yang baik.
Ø Dimensi Kode Etik :
- Anggota profesi dan Klien atau Pasien.
- Anggota profesi dan sistem kesehatan.
- Anggota profesi dan profesi kesehatan
- Anggota profesi dan sesama anggota profesi
Ø Prinsip Kode Etik :
- Menghargai otonomi
- Melakukan tindakan yang benar
- Mencegah tindakan yang dapat merugikan.
- Memberlakukan manusia dengan adil.
- Menjelaskan dengan benar.
- Menepati janji yang telah disepakati.
- Menjaga kerahasiaan
2.3.2 SECARA UMUM KODE ETIK TERSEBUT BERISI 7 BAB YAITU:
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
- Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
- Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
- Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
- Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
- Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
- Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan - tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
b. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
- Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
- Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
- Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipedukan sehubungan kepentingan klien.
c. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
- Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
- Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
d. Kewajiban bidan terhadap profesinya
- Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
- Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan did dan meningkatkan kemampuan profesinya seuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mute dan citra profesinya.
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
- Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
- Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
- Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuanketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
- Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk- meningkatkan mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
· Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
· Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
· Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
· Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.
· Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluaraga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
· Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajart kesehatannya secara optimal.
b. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
· Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
· Setiap bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan
· Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien
c. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
· Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi
· Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
d. Kewajiban bidan terhadap profesinya
· Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat
· Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
· Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
· Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik
· Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
· Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa, bangsa dan tanah air
· Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan Reproduksi, Keluarga Berencana dan Kesehatan Keluarga.
· Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
2.4 Jabatan Fungsional Bidan
Selain penghargaan dan sanksi, bidan juga patut mendapat jabatan fungsional dan jabatan struktural. Seperti yang dijelaskan pada materi di atas mengenai jabatan fungsional bidan, jabatan fungsional didapat oleh seorang bidan melalui pendidikan formal seperti D III dan SI berupa ijasah, sedangkan non formal berasal dari pelatihan atau penyuluhan atau seminar yang diadakan oleh pemerintah atau organisasi bidan berupa sertifikat.
Bidan memiliki jabatan fungsional sesuai dengan fungsi bidan yaitu pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti. Dalam menduduki jabatan ini,bidan juga berhak smenerima tunjangan fungsional sesuai dengan kedudukannya.
Sedangkan jabatan struktural bidan dilihat berdasarkan dimana bidan tersebut bekerja. Tunjangan berasal dari tempat dimana dia bekerja seperti di Puskesmas dan Rumah Sakit.
Jabatan dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu jabatan struktural dan fungsional.
§ Jabatan struktural adalah jabatan yang secara jelas tertera dalam struktur dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi,
§ Jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital dalam kehidupan rmasyarakat dan Negara.
Selain fungsi dan perannya yang vital dalam kehidupan masyarakat, jabatan fungsional juga berorientasi kualitatif. Seseorang memiliki jabatan fungsional berhak mendapatkan tunjangan fungsional. Jabatan bidan merupakan jabatan fungsional professional sehingga berhak mendapat tunjangan fungsional.
Pengembangan karir bidan meliputi karir fungsional dan karir struktural. Jabatan fungsional sebagai bidan bisa didapat melalui pendidikan berkelanjutan ,baik secara formal maupun nonformal, yang hasil akhirnya akan meningkatkan kemampuan professional bidan dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelaksana, pendidik, pengelola, dan peneliti.
Sedangkan jabatan sturkturalnya bergantung dimana bidan tersebut bertugas,misalnya di rumah sakit, puskesmas, dan sebagainya. Karir ini dapat dicapai oleh bidan di setiap tatanan pelayanan kebidanan/kesehatan sesuai dengan tingkat kemampuan, kesempatan, dan kebijakan yang ada.
2.5 Audit Maternal Perinatal
Audit medik menurut the British Government dalam Lembaran Putihnya Working for Patient yaitu analilis yang sistemaits dan ktitis tentang kualitas pelayanan medik, di dalamnya terdapat :
a. Kualitas hidup dan luaran ( outcome ) untuk pasien.
b. Prosedur yang dipakai untuk mendiagnosis dan mengobati.
c. Penggunaan sumber-sumber dengan tujuan pelayanan yang diberikan oleh pasien.
Ø Tiga persyaratan Audit Medik yang perlu dipenuhi :
· Audit Medik
Komponen penting dalam quality assurance dan merupakan bagian dasar dalam proses pengelolaan. Semua aktifitas medik dapat di audit, semua aktifitas yang berhubungan dengan dokter diembel-embeli kata medik. Di bidang perinatal misalnya bidan-perawat istilah menjadi audit klinik.
· Sistematis
Harus secara sistematis karena tidak semua kegiatan dapat di audit secara bersamaan. Subjek yang akan di audit harus dipelajari secara cermat, audit dilakukan secra ilmiah seperti penelitian klinik.
· Kritis
Diperlukan review oleh peergroup. Peserta audit harus mengerti atas keadaannya dan harus berani mengungkapkan kenyataan yang ada. Siapa saja yang ikut audit tidak boleh merasa terancam karena kesalahan bukan semata kesalahan perseorangan tetapi kesalahan sistem. Jika audit dilakukan secara benar maka semua permasalahan akan terungkap. Kasus yang sifatnya sangat pribadi dapat dilakukan audit tersendiri.
Pada satu audit diperlukan dua atau lebioh dokter spesialis senior agar audit mendengarkan pula pendapat para senior. Audit harus lebih menonjolkan fakta (evidence) ketimbang ideologi atau opini seorang ahli sekalipun.
Ø Kualitas Pelayanan
Menurut Maxwell dalam British Medical Journal 1984 dan Maresh dalam bukunya Audit in Obstetrics and Gynaecology dikatakan dimensi pelayanan mencakup :
a. Pelayanan yang efektif :
Satu kondisi telah dikelola dengan luaran yang dapat diterima.
b. Pelayanan yang aman :
Satu kondisi yang telah dikelola dengan komplikasi yang minimum.
c. Kepuasan pasien :
Pasien telah dikelola secra efektif dan aman.
d. Pelayanan yang efisien :
Sumber-sumber yang ada telah dimanfaatkan sebaik mungkin.
e. Pelayanan yang Equitable :
Pelayanan dapat di berikan secara umum kepada siapa saja.
f. Relevan bagi masyarakat :
Pelayanan kesehatan harus di hubungkan dengan penyediaan pelayanan secara keseluruhan dan tidak hanya pada sekelompok orang.
Quality assurance sinonim dari audit medik dapat disebut sebagai komponen kunci satu pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Ø Pengelolaan Kualitas secara Menyeluruh
Berwick, yang dikutip oleh Maresh dalam bukunya Audit in Obstetrics and Gynaecology menyimpulkan bahwa ada beberapa prinsip yang perlu dipahami dan disepakati untuk mencapai pengelolaan Kualitas yang Menyeluruh ( total quality assurance ) :
- Keinginan untuk perbaikan
- Batasan kualitas
- Mengukur kualitas
- Memahami kebebasan antara
- Mengetahui sistem
- Modal dalam pembelajaran
- Pengurangan biaya
- Komitme pimpinan
Ø Klasifikasi audit secara umum :
- Audit tentang struktur : Struktur berhubungan dengan fasilitas dari satu pusat pelayanan ke pusat pelayanan yang lain, dari RS propinsi dengan RS kabupaten/kota dapat berbeda.
- Audit tentang proses : Yang diaudit adalah satu pusat kesehatan dalam memberikan pelayanannya. Umumnya pelayanan yang baik berakhir dengan outcome yang baik.
- Audit tentang outcome : Audit yang mengukur dari satu pengelolaan atau menjadi tolak ukur satu pelayanan merupakan kegiatan terpenting dari satu audit dan sering menjadi bagian paling sulit. Audit outcome bagian yang terpenting hasilnya harus disepakati secara diskriminatif karena standar yang dipakai serta fasilitas yang ada sangat berbeda dari satu pusat pelayanan ke pusa pelayanan lain.
Ø Klasifikasi rasional :
Klasifikasi lain yang dipakai AMP yaitu struktur untuk menemukan kekurangan dalam pelayanan kesehatan dengan menganalisis perempuan dan lingkungan, keadaan administratif dan kualitas pelayanan itu sendiri.
Ø Masalah yang berhubungan dengan pasien ( perempuan dan lingkungannnya )
- Masalah yang berhubungan langsung dengan perempuan itu sendiri, misal pengetahuan
- Pengaruh keluarga pada perilaku perempuan
- Pengaruh lingkungan atau masyarakat disekitar perempuan, misal ada tidaknya telepon untuk memanggil ambulans atau tekanan dari masyarakat untuk lebih baik pergi ke dukun
Ø Masalah Administratif
- Transportasi
- Kendala untuk mencapai pusat pelayanan kesehatan
- Tidak adanya fasilitas
- Kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih
- Komunikasi
Ø Pelayanan Standar Kesehatan
- Pelayanan antenatal
- Pelayanan antepartum
- Pelayanan postpartum
- Kedaruratan
- Resusitasi
- Anestesi
Ø Informasi yang Hilang
Misal : tidak adanya catatan medik
Ø Proses audit fenomena yang berdaur :
- Dimulai mempelajari dan menyatujui masalah apa yang akan dibicarakan. Masalah harus diberi batasan yang jelas
- Standar prosedur dan terapi harus tegas
- Informasi apa yang dapat diambil dari audit
- Informasi yang didapat dibandingkan dengan standar yang telah disepakati
- informasi yang didapat disampaikan pada satu pertemuan audit
- Dibuat rekomendasi dari apa yang telah di setujui menuju perbaikan
- Implementasi rekomendasi tersebut
- Proses tersebut di audit ulang secara berkala
Ø Pelaksanaan AMP di Indonesia
AMP menurut Departemen Kesehatan adalah suatu kegiatan untuk menelusuri kembali sebab kesakitan dan kematioan ibu dan perinatal dengan tujuan mencegah kesakitan dan kematian yang akan datang.
Dari kegiatan ini dapat ditentukan :
- Sebab dan faktor-faktor terkait dalam kesakitan / kematian ibu dan perinatal
- Tempat dan alasan berbagi sistem dan program gagal dalam mencegah kematian
- Jenis intervensi yang dibutuhkan
Otopsi verbal adalah informasi tentang sebab kematian digunakan untuk prioritas kesehatan masyarakat, pola penyakit, tren penyakit dan untuk evaluasi dampak upaya preventif ataupun promotif.
Ø Tujuan AMP
- Tujuan Umum : meningkatkan mutu pelayanan KIA di seluruh wilayah kabupaten dalam rangka mempercepat penuruna angka kematian ibu dan perinatal
- Tujuan Khusus :
a) Menerapkan pembahasan analitik mengenai kasus kebidanan dan perinatal secara teratur dan berkesinambungan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota, RS kabupaten dan puskesmas.
b) Menentukan intervensi untuk masing-masing pihak yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam mengatasi pembahasan kasus.
c) Mengembangkan mekanisme koordinasi antara DKK, RS kabupaten/daerah, dan puskesmas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap intervensi yang disepakati.
Ø Morbiditas dan Mortalitas Ibu
Kematian maternal dapat diklasifikasi sebagai berikut :
- Kematian langsung karena kehamilannya sendiri
- Kematian tak langsung karena penyakit lain
- Tidak ada kaitan / dipengaruhi kehamilan, misal kecelakaan lalu lintas, bencana
Kematian Perinatal
Adalah terminologi paling luasyang digunakan untuk menentukan morbiditas bayi dan terminologi ini mencakup stillbirth/lahir mati saat masa neonatal dini.
Klasifikasi kematian perinatal :
1. Kelainan bawaan / cacat bawaan
2. Isoiminisasi / inkomtabilitas serologis
3. Preeklamsia
4. Perdrahan antepartum
5. Kelainan maternal/penyakit yang di derita ibu
6. lain-lain, infeksi neonatal
7. unexplained / tidak dapat dikategorikan
Ø Faktor - faktor yang mempengaruhi Kematian Ibu dan Perinatal
1. Faktor medik : beberapa faktor medik yang melatarbelakangi adalah faktor resiko
a) Usia ibu saat hamil
b) Jumlah anak
c) Jarak antara kehamilan
· Komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas :
a) Perdarahan pervaginam, khususnya pada kehamilan trimester tiga, persalinan dan pasca persalinan
b) Infeksi
c) Pre-eklampsi, hipertensi akibat hamil
d) Komplikasi akibat partus lama
e) Trauma persalinan
· Keadaan yang memperburuk derajat kesehatan ibu saat hamil :
a) Kekurangan gizi dan anemia
b) Bekerja ( fisik ) berat selama kehamilan
2. Faktor non medik
a) Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapat pelayanan antenatal
b) Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi
c) Ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalammpengambilan keputusan untuk dirujuk
d) Ketidakmampuan sebagian besar ibu hamil untuk membayar biaya transpor dan perawatan RS
3. Faktor pelayanan kesehatan
a) Berbagai aspek manajemen yang belum menunjang antara lain :
1) belum semua Dati II memberi prioritas yang memadai untuk program KIA
2) kurangnya komunikasi dan koordinasi antara Dinkes Dati II, RS Dati II dan puskesmas dalam upaya kesehatan ibudan perinatal
3) belum mantapnya mekanisme rujukan dari puskesmas ke RS Dati II atau sebaliknya
b) Berbagai keadaan yang berkaitan dengan keterampiplan pemberi pelayanan KIA masih merupakan faktor penghambat
(a). belum ditetapkannya prosedur tetap penanganan kasus kegawatdaruratan kebidanan dan perinatal secara konsisten
(b). kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan dalam mendeteksi dan menangani ibu/bayi resiko tinggi
(c). kurang mantapnya keterampilan bidan di puskesmas dan bidan praktik klinik swasta untuk ikut aktif dalam jaringan sistem rujukan saat ini
(d). terbatasnya keterampilan dokter puskesmas dalam menangani kegawat daruratan kebidanan dan perinatal
(e). kurangnya alih teknologi tepat guna (yang sesuai dengan permasalahan setempat) dari dokter spesialis RS II kepada dokter/bidan puskesmas
Ø Kebijakan dan Strategi
- Kebijakan AMP
a) Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus-menerus disamping upaya perluasan jangkauan pelayanan. Upaya peningkatan dan pengendalian mutu antara lain dilakukan melalui kegiatan AMP
b) Peningkatan fungsi kabupaten sebagai unit efektif yang mampu memanfaatkan semua potensi dan peluang yang ada untuk meningkatkan pelayanan KIA di seluruh wilayah
c) Peningkatan berkesinambungan pelayanan KIA di tingkat pelayanan dasar (puskesmas) dan tingkat rujukan primer (RS kabupaten / daerah)
d) Peningkatan kemampuan kabupaten dalam perencanaan program KIA yang mampu mengatasi masalah kesehatan setempat
e) Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari pengelola dan pelaksanaan program KIA
- Strategi
a) Peningkatan pelayanan program KIA dengan menerapkan kendali mutu yang antara lain dilakukan melalui AMP
b) DKK sebagai fasililtator bekerja sama dengan RS kabupaten / daerah dan melibatkan puskesmas dan unit pelayanan KIA dalam upaya kendali mutu
c) Dibentuk tim AMP yang selalu mengadakan pertemuan rutin untuk membahas tindak lanjut berdasarkan temuan dari kegiatan audit
d) Program KIA dibuat dengan mempertimbangkan hasil temuan dari kegiatan AMP sehingga diharapkan berorientasi pada pemecahan masalah di tempat
e) Pembinaan puskesmas dilakukan oleh DKK bekerjasama dengan RS dan dilaksanakan secara rutin dalam bentuk yang disepakati oleh tim AMP
Ø Metode AMP
- Pertemuan tim AMP kabupaten : kecamatan melakukan analisis data/laporan dan menentukan kasus yang akan dibahas
- Pertemuan pembahasan kasus untuk pemecahan masalah ( problem solving ) :
1) Diikuti oleh semua tim AMP puskesmas ( dokter/bidan )
2) Mengkaji kasus yang menarik : pembelajaran gejala, pengelolaan, rujukan, siapa dan cara menolong, hambatan/kekurangan/masalah, kasus dilaporkan tim puskesmas diikuti penolong
3) Alternatif pemecahan, kesimpulan dan rencana tindak lanjut
4) Pencatatan dan pelaporan
Ø Langkah-langkah dan Kegiatan AMP
- Persiapan
a) Pembentukan tim AMP
1) Pelindung : Bupati/walikota
2) Ketua : Kepala Dinas Kesehatan
3) Wakil Ketua : Direktur RS Dati II
4) Sekretaris : dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan RS,
dokter spesialis anak RS
b) Penyebarluasan Informasi dan petunjuk teknis pelaksanaan AMP.
Menyampaikan informasi dan menyamakan pesepsi dengan pihak
terkait dengan pengertian dan pelaksanaan AMP
c) Menyusun rencana kegiatan AMP
d) Orientasi pengelola program KIA dala pelaksanaan AMP
- Pelaksanaan AMP
a) Persiapan pelaksanaan
Menentukan :
1) Kasus yang menarik
2) Lokasi dilakukannya amp
3) Format pencatatan dan pelaporan
b) Pelaksanaan kegiatan AMP
Secara berkala dilakukan pelaksanaan AMP dengan melibatkan : kepala puskesmas dan pelaksana pelayanan KIA di puskesmas, dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anak RS kabupaten/kota dan staf pengelola yang terkait, kepala dinas kesehata dengan staf pengelola program yang terkait, pihak lain yang terkait misal BPS, petugas rekam medis RS kabupaten.
c) penyusunan rencana tindak lanjutterhadap temuan dari kegiatan AMP
- Pencatatan dan Pelaporan
a) Pencatatan
1) Puskesmas
(a). Rekam medis yang ada
(b). Formulir r ( rujukan maternal dan neonatal )
(c). Formulir om dan op ( otopsi maternal dan perinatal )
2) Rsud kabupaten
(a). Formulir mp : semua ibu bersalin dan bbl masuk rs, pengisian dilakuka bidan atau perawat
(b). Formulir ma : hasil kesimpulan dari am/ap, yang mengisi adalah dokter yang bertugas di bagian kebidanan dan penyakit kandungan ( untuk kasusu ibu ) dan bagian anak ( untuk kasusu perinatal )
b) pelaporan
1) RSUD kabupaten
(a). Laporan jumlah persalinan normal dan patologis, rujukan dan kematian. Laporan triwulanberisi informasi mengenai kasus ibu dan perinatal yang ditangani rsud kabupaten
(b). Pada tahapawal dilakukan pelaporan komplikasi yang paling sering terjadi pada ibu dan bayi baru lahir
2) Dinas Kesehatan Kabupaten
Pelaporan pelayanan kesehatan maternal dan perinatal
- Pemantauan dan Evaluasi
a) Pemantauan
1) Pemantauan melalui laporan masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan amp
2) Pemsantauan kegiatan tindak lanjut kegiatan amp
b) Supervisi
Jika terdapat keterbatasan tenaga, dana dan sarana, supervisi dilakukan secara acak disesuaikan dengan masalah.
c) Evaluasi
Dilakukan dengan menggunakan indikator :
1) Kecenderungan case fatality rate ( cfr ) dari tiap jenis komplikasi/gangguan ibu dan perinatal yang diperlukan
2) Proporsi tiap jenis kesakitan ibu / perinatal yang dipantau
3) Cakupan pelayanan ibu hamil, pertolongasn persalinan oleh tenaga kesehatan
4) Frekuensi pertemuan audit di kabupaten dalam satu tahun
5) Frekuensi pertemuan tim AMP di kabupaten dalam satu tahun
AMP diselenggarakan karena tingkat masih tingginya angka kesakitan dan kematian perinatal dan perinatal. Prakarsa Safe Motherhood tahun1987 merumuskan kebijakan dan strategi yang dijabarkan dalam langkah-langkah kegiatan untuk menurunkan AKI. Ternyata sulit untuk mendokumentasikan penurunan AKI secara terukur dan mencegah berulangnya kesakitan/kematian dengan AMP.
PERMENKES TAHUN 2002
BAB VI
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 27
1) Dalam melakukan praktiknya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke Puskesmas dan tembusan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini.10
BAB VII
PEJABAT YANG BERWENANG MENGELUARKAN
DAN MENCABUT IZIN PRAKTIK
Pasal 28
1) Pejabat yang berwenang mengeluarkan dan mencabut SIPB adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2) Dalam hal tidak ada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dapat menunjuk pejabat lain.
Pasal 29
1) Permohonan SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada pemohon dalam waktu selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.
2) Apabila permohonan SIPB disetujui, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPB.
3) Apabila Permohonan SIPB ditolak, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus memberikan alasan penolakan tersebut.
4) Bentuk dan isi SIPB yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2)tercantum dalam Formulir VII terlampir.
5) Bentuk surat penolakan SIPB sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tercantum dalam Formulir VIII terlampir.
Pasal 30
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyampaikan laporan secara berkala kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat tentang pelaksanaan pemberian atau penolakan SIPB diwilayahnya dengan tembusan kepada organisasi profesi setempat.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
1) Bidan wajib mengumpulkan sejumlah angka kredit yang besarnya ditetapkan oleh organisasi profesi.
2) Angka kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikumpulkan dari angka kegiatan pendidikan dan kegiatan ilmiah dan pengabdian masyarakat.
3) Jenis dan besarnya angka kredit dari masing-masing unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh organisasi profesi.
4) Organisasi profesi mempunyai kewajiban membimbing dan mendorong para anggotanya untuk dapat mencapai angka kredit yang ditentukan.11
Pasal 32
Pimpinan sarana kesehatan wajib melaporkan bidan yang melakukan praktik dan
yang berhenti melakukan praktik pada sarana kesehatannya kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi.
Pasal 33
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau organisasi profesi terkait
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bidan yang melakukan
praktik diwilayahnya.
(2) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui pemantauan yang hasilnya dibahas secara periodik
sekurang-kurangnya 1(satu) kali dalam 1(satu) tahun.
Pasal 34
Selama menjalankan praktik seorang Bidan wajib mentaati semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 35
(1) Bidan dalam melakukan praktik dilarang :
a. menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam izin praktik.
b. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi.
(2) Bagi bidan yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau
menjalankan tugas didaerah terpencil ya ng tidak ada tenaga kesehatan lain,
dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a.
Pasal 36
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan peringatan
lisan atau tertulis kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap
Keputusan ini.
(2) Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling banyak 3(tiga) kali dan apabila peringatan tersebut tidak diindahkan,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPB Bidan yang
bersangkutan.
Pasal 37
Sebelum Keputusan pencabutan SIPB ditetapkan, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota terlebih dahulu mendengar pertimbangan dari Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (MDTK) atau Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika
Pelayanan Medis (MP2EPM) sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.12
Pasal 38
(1) Keputusan pencabutan SIPB disampaikan kepada bidan yang bersangkutan
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak
keputusan ditetapkan.
(2) Dalam Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebutkan lama
pencabutan SIPB.
(3) Terhadap pencabutan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah Keputusan diterima, apabila dalam waktu 14
(empat belas) hari tidak diajukan keberatan, maka keputusan tersebut
dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi memutuskan ditingkat pertama dan terakhir
semua keberatan mengenai pencabutan SIPB.
(5) Sebelum prosedur keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditempuh, Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili
sengketa tersebut sesuai dengan maksud Pasal 48 Undang -undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 39
Kepada Dinas Kesehatan Kabupate n/Kota melaporkan setiap pencabutan SIPB
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan tembusan kepada
organisasi profesi setempat.
Pasal 40
(1) Dalam keadaan luar biasa untuk kepentingan nasional Menteri Kesehatan
dan/atau atas rekomendasi organisasi profesi dapat mencabut untuk
sementara SIPB bidan yang melanggar ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pencabutan izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya
diproses sesuai dengan ketentuan Keputusan ini.
Pasal 41
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat membentuk Tim/Panitia yang bertugas melakukan
pemantauan pelaksanaan praktik bidan di wilayahnya.
(2) Tim/Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah,
Ikatan Bidan Indonesia dan profesi kesehatan terkait lainnya.13
BAB IX
S A N K S I
Pasal 42
Bidan yang dengan sengaja :
a. melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan/adaptasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau;
b. melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
c. melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2);
dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 43
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai
izin praktik, dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 44
(1) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42,
Bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam
Keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan izin.
(2) Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permenkes Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan
C. KODE ETIK BIDAN INDONESIA
1. Deskripsi Kode Etik Bidan Indonesia
Kode etik merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.
2. Kode Etik Bidan Indonesia
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
1) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
2) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
3) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
4) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.
5) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluaraga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
6) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajart kesehatannya secara optimal.
b. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
1) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
2) Setiap bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan
3) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien
c. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
1) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
2) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
d. Kewajiban bidan terhadap profesinya
1) Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat
2) Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
1) Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik
2) Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
3) Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa, bangsa dan tanah air
1) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan Reproduksi, Keluarga Berencana dan Kesehatan Keluarga.
2) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
BAB III
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Bidan merupakan salah satu profesi bidang kesehatan yang memiliki tugas yang berat dan harus dipertanggung jawabkan. Membantu persalinan adalah salah satu tugas berat bidan. Karena berhubungan dengan nyawa bayi dan ibunya. Jadi bidan berhak dan berkewajiban untuk mendapat penghargaan.
Penghargaan bagi bidan adalah bentuk apresiasi yang diberikan kepada bidan tidak hanya berupa imbalan jasa tetapi juga dalam bentuk pengakuan profesi dan pemberian kewenangan atau hak untuk menjalankan praktik sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Sedangkan sanksi bagi bidan adalah imbalan negatif, imbalan yang berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan oleh hukum aturan yang berlaku. Sanksi berlaku bagi bidan yang melanggar kode etik dan hak/kewajiban bidan yang telah diatur oleh organisasi profesi.
1.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan, maka penyusun mengharapkan kritikan dan saran demi pengembangan penulisan selanjutnya. Dan untuk senantiasa mencari tahu lebih dalam dan memperbaharui pengetahuan mengenai ilmu kebidanan khususnya mengenai Konsep Kebidanan karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mustika, Sofyan dkk. (2003). 50 Tahun IBI Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI
2. Simatupang, Juliana, Erna. (2008). Manajemen Kebidanan. Jakarta: EGC
3. Soepardan, Suryani, Hajjah. (2006). Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC
4. Purwandari, Atik. A.Md.Keb.,SKM. 2008. Konsep Kebidanan: Sejarah dan Profesionalisme. Jakarta: EGC
5. Kumala, Popy, dr. 2007. Manajemen Pelayanan Primer. Jakarta: EGC
6. sSujianti, S.ST (2009). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Yogjakarta: Numed
7. http://www.waspada.co.id/index.php/templates/index.php?option=com_content&view=article&id=58965:audit-maternal-perinatal&catid=25:artikel&Itemid=44
aq mw tnya ni mb aq bru tmat kuliah D3 kbidanan saya sdah mengikuti uji kopetensi udh lulus yang mw saya tnyakan saya kan blm ada SIPB apa saja sih kerjaan yang boleh saya lakukan tanpa SIPB diluar jam kerjaan saya?apakah saya boleh membuka pelayanan kb dirumah dengan membuat plang nama di depan rumah khusus untuk pelayanan kb saja??apakah harus ada koordinasinya?klo boleh gimana cara mengurusnya?
ReplyDelete