Tuesday, February 14, 2012

STANDAR PELAYANAN MINIMAL, INFORMED CONSENT, REKAM MEDIS, RAHASIA MEDIS

I.                   STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.      Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah Kabupaten/Kota.
2.      Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi Pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk  meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.
3.      Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Menteri Kesehatan.
4.      Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-bataswilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.      Pemerintah Daerah adalah Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
7.      Pengembangan kapasitas adalah upaya meningkatkan kemampuan sistem atau sarana dan prasarana, kelembagaan, personil, dan keuangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka mencapai
tujuan pelayanan dasar dan/atau SPM Kesehatan secara efektif dan efisien dengan menggunakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
8.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KESEHATAN
Pasal 2
(1) Kabupaten/Kota menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai SPM Kesehatan.
(2) SPM Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan target Tahun 2010 – Tahun 2015:
a. Pelayanan Kesehatan Dasar :
1.      Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015;
2.      Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015;
3.      Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 90% pada Tahun 2015;
4.      Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5.      Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6.      Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7.      Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010;
8.      Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9.      Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin 100 % pada Tahun 2010;
10.  Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11.  Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12.  Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13.  Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14.  Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.
b. Pelayanan Kesehatan Rujukan
1.      Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015;
2.      Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015.
c. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB
Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam 100% pada Tahun 2015.
d. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.

Pasal 3
Di luar jenis pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Kabupaten/Kota tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik, dan potensi daerah.

Pasal 4
SPM Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 diberlakukan juga bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

BAB III
PENGORGANISASIAN
Pasal 5
Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam
1.      penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai SPM Kesehatan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat;
2.      Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai SPM Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara operasional dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota;
3.      Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai SPM Kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.
BAB IV
PELAKSANAAN
Pasal 6
1.      SPM Kesehatan yang ditetapkan merupakan acuan dalam perencanaan program pencapaian target masing-masing Daerah Kabupaten/Kota.
2.      Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud dalam perencanaan program pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Pedoman/Standar Teknis yang ditetapkan.

BAB V
PELAPORAN
Pasal 7
1.      Bupati/Walikota menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM Kesehatan kepada Menteri Kesehatan.
2.      Berdasarkan laporan teknis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM Kesehatan.






BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 8
1.      Menteri Kesehatan melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM Kesehatan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat.
2.      Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
3.      Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 9
Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipergunakan sebagai:
a. Bahan masukan bagi pengembangan kapasitaspemerintah daerah dalam pencapaian SPM Kesehatan;
b. Bahan pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Kesehatan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintah daerah yang berprestasi sangat baik; dan
c. Bahan pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang tidak berhasil mencapai SPM Kesehatan dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi
khusus Daerah yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Pasal 10
(1) Menteri Kesehatan memfasilitasi pengembangan kapasitas melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, personal dan keuangan, baik di tingkat pemerintah maupun Kabupaten/Kota.
(2) Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan
dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya meliputi:
a.       Perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai SPM Kesehatan, termasuk kesenjangan pembiayaan;
b.      Penyusunan rencana pencapaian SPM Kesehatan dan penetapan target tahunan pencapaian SPM Kesehatan;
c.       Penilaian prestasi kerja pencapaian SPM Kesehatan; dan
d.      Pelaporan prestasi kerja pencapaian SPM Kesehatan.
(3) Fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personal dan keuangan negara serta keuangan daerah.



BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 11
(1) Pendanaan yang berkaitan dengan kegiatan penyusunan, penetapan, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem dan/atau sub sistem informasi manajemen, serta pengembangan
kapasitas untuk mendukung penyelenggaraan SPM Kesehatan yang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, dibebankan kepada APBN Departemen
Kesehatan.
(2) Pendanaan yang berkaitan dengan penerapan, pencapaian kinerja/target, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan
sub sistem informasi manajemen, serta pengembangan kapasitas, yang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dibebankan kepada APBD.


BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan melakukan pembinaan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menyusun Petunjuk Teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
(3) Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, dapat mendelegasikan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah.
Pasal 13
(1) Menteri Kesehatan dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Kesehatan, dibantu oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan.
(2) Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Kesehatan, dibantu oleh Inspektorat
Provinsi berkoordinasi dengan Inspektorat Kabupaten/Kota.
(3) Bupati/ Walikota melaksanakan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai SPM Kesehatan di daerah masing-masing.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku semua peraturan yang berkaitan dengan SPM Kesehatan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya peraturan ini, maka keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2008

STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN
STANDAR I  : Falsafah dan Tujuan
Pelayanan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan filosofi bidan
Definisi Operasional
1.      Dalam menjalankan perannya bidan memiliki keyakinan yang dijadikan panduan dalam memberikan asuhan
2.      Tujuan utama asuhan kebidanan untuk menyelamatkan ibu dan bayi (mengurangi kesakitan dan kematian). Asuhan kebidanan berfokus pada promosi persalinan normal, pencegahan penyakit, pencegahan cacat pada ibu dan bayi, promosi kesehatan yang bersifat holistik, diberikan dengan cara yang kreatif, fleksibel, suportif, peduli, bimbingan, monitor dan pendidikan berpusat pada perempuan.

STANDAR II : Administrasi dan pengelolaan
a.       Ada pedoman pengelolaan pelayanan yang mencerminkan mekanisme kerja di unit pelayanan tersebut yang disahkan oleh pimpinan
b.      Ada standar pelayanan yang dibuat mengacu pada pedoman standar alat, standar ruangan, standar ketenagaan yang telah tindakan disahkan oleh pimpinan.
c.       Ada standar prosedur tetap untuk setiap jenis kegiatan/kebidanan yang disahkan oleh pimpinan
d.      Ada rencana / program kerja disetiap insttusi pengelolaan yang mengacu ke institusi induk.
e.       Ada bukti tertulis terselenggaranya pertemuan berkala secara teratur, dilengkapi dengan daftar hadir dan notulen rapat.
f.       Ada naskah kerjasama, program praktik dari institusi yang menggunakan lahan praktik, program pengajaran dan penilaian klinik.
g.      Ada bukti administrasi
STANDAR III : Staf dan pimpinan
1.         Tersedia SDM sesuai dengan kebutuhan baik kualifikasi maupun jumlah
2.         Mempunyai jdwal pengaturan kerja harian
3.         ada jadwal dinas sesuai dengan tanggung jawab dan uraian kerja
4.         ada jdwal bidan pengganti dengan peran fungsi yang jelas
5.         Ada data personil yang bertugas di ruangan tersebut

STANDAR IV : Fasilitas da peralatan
1.      Tersedia sarana dan peralatan untuk mencapai tujuan pelayanan kebidanan sesuai standar
2.      Tersedianya peralatan yang sesuai dalam jumlah dan kualitas
3.      Ada sertifikasi untuk penggunaan alat-alat tertentu
4.      Ada prosedur permintaan dan penghapusan alat.

STANDAR V : Kebijakan dan prosedur
1.      Ada kebijakan tertulis tentang prosedur pelayanan dan standar pelayanan yang disahkan oleh pimpinan
2.      Ada prosedur rekruitmen tenaga yang jelas
3.      Ada regulasi internal sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mengatur hak dan kewajiban
4.      Ada kebijakan dan prosedur pembinaan personal

STANDAR VI : Pengembangan staf dan program pendidikan
1.      Ada program pembinaan staf dan program pendidikan secara berkesinambungan
2.      Ada program orientasi dan pelatihan bagi tenaga bidan/personil baru dan lama agar dapt beradaptasi dengan pekerjaan
3.      Ada data hasil identifikasi kebutuhan pelatihan dan evaluasi hasil pelatihan



STANDAR VII : Standar asuhan
1.      Ada standar manajemen asuhan kebidanan (SMAK) sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan kebidanan
2.      Ada format manajemen kebidanan yang terdapat pada catatan medik
3.      Ada pengkajian asuhan kebidanan bagi setiap klien
4.      Ada diagnosa kebidanan
5.      Ada rencana asuhan kebidanan
6.      Ada dokumen tertulis tentang tindakan kebidanan
7.      Ada catatan perkembangan klien dalam asuhan kebidanan
8.      Ada evaluasi dalam memberikan asuhan kebidanan
9.      Ada dokumentasi untuk kegiatan manajemen kebidanan


STANDAR VIII : Evaluasi dan pengendalian mutu
1.            Ada program atau rencana tertulis peningkatan mutu pelayanan kebidanan
2.            Ada program atau rencana tertulis untuk melakukan penilaian terhadap standar asuhan kebidanan
3.            Ada bukti tertulis dari risalah rapat sebagai hasil dari kegiatan pengendalian mutu asuhan dan pelayanan kebidanan
4.            Ada bukti tertulis tentang pelaksanaan evaluasi pelayanan dan rencana tindak lanjut
5.            Ada laporan hasil evaluasi yang dipublikasikan secara tertulis kepada semua staf pelayanan kebidanan


II.                INFORMED CHOICE DAN INFORMED CONSENT
Informed choice
Informed choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.

Rekomendasi
a.       Bidan harus terusmeningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan dapat memuaskan kliennya
b.      Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh wanita dengan menggunakan media laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap muka secara langsung
c.       Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri
d.      Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan serendah mungkin
e.       Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan suatu tekanan positif.

Bentuk pilihan (choice) yang ada dalam asuhan kebidanan

Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien antara lain :
1.      Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal dan pemeriksaan laboratorium/screaning antenatal
2.      Tempat bersalin (rumah, polindes, RB, RSB, atau RS) dan kelas perawatan di RS
3.      Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan
4.      Pendampingan waktu bersalin
5.      Clisma dan cukur daerah pubis
6.      Metode monitor denyut jantung janin
7.      Percepatan persalinan
8.      Diet selama proses persalinan
9.      Mobilisasi selama proses persalinan
10.  Pemakaian obat pengurang rasa sakit
11.  Pemecahan ketuban secara rutin
12.  Posisi ketika bersalin
13.  Episiotomi
14.  Penolong persalinan
15.  Keterlibatan suami waktu bersalin, misalnya pemotongan tali pusat
16.  Cara memberikan minuman bayi
17.  Metode pengontrolan kesuburan

Informed concent
Informed concent telah diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya konflik dalam masalah etik.
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan / keterangan / informasi) dan concent (memberikan persetujuan / mengizinkan). Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.
Menurut Veronika Komalawati pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi
Dalam PERMENKES no 585 tahun 1989 (pasal 1), Informed concent diatfsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
Langkah-langkah pencegahan masalah etik, Dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut :
1) Informed concent
2) Negosiasi
3) Persuasi
4) Komite etik

Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.
Dalam proses informed concent :
1)      Dimensi yang menyangkut hukum
dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang berprilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
2. Informasi tersebut harus dimengerti pasien
3. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan
kesempatan yang baik
2)      Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
1. Menghargai kemandirian/otonomi pasien
2. Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan
3. Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai hasil pemikiran yang rasional.

Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama bidan dengan pasien dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi (informed), kemudian terjadi pilihan (choice) dan pengambilan keputusan. Terdapat 2 keluaran pengambilan keputusan:
1.      Menyetujui sehingga menandatangani form persetujuan
2.      Menolak dengan menandatangani form penolakan.

Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak. Hal ini sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya.
Ternyata pelaksanaan informed consent cukup sulit terbukti masih ditemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin, yaitu:
1.      Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan dimana harus ditentukan peraturan mengenai batas usia, kesadaran, kondisi mentalnya dsb. Sampai sejauh mana orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu inpartu mampu menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap penjelasan yang diberikan. Apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
2.      Masalah wali yang sah. Timbul apabila pasien atau ibu tidak mampu secara hukum untuk menyatakan persetujuannya.
3.      Masalah informasi yang diberikan yaitu seberap jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti.
4.      Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila diperlukan apakah sanksi tersebut perlu menandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan sanksi.
5.      Dalam keadaan darurat, misalnya kasus perdarahan pada ibu hamil, dan keluarganya belum dapat dihubungi, dalam keadaan seperti ini siapakah yang berhak memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana perlindungan hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar keadaan darurat dan dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan janinnya.

Akhirnya bahwa manfaat informed consent adalah untuk mengurangi keadaan malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dan alur pemberian informasi benar-benar dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.

Contoh Informed Consent Dalam Tindakan Persalinan

Bidan Praktek Swasta................
Alamat.......................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................

PERSETUJUAN TINDAKAN PERTOLONGAN PERSALINAN
nomor:........
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Tempat/Tinggal Lahir :
Alamat :
Kartu Identitas :
Pekerjaan :

Selaku individu yang meminta bantuan pada fasilitas kesehatan ini, bersama ini menyatakan kesediaannya untuk dilakukan tindakan dan prosedur pertolongan persalinan pada diri saya berikan setelah mendapat penjelasan dari bidan yang berwenang di fasilitas kesehatan tersebut diatas, sebagaimana berikut ini:
1.      Diagnosis kebidanan..............................................................................
2.      Untuk melakukan pertolongan persalinan, perlu dilakukan tindakan...............................................................................................
3.      Setiap tindakan kebidanan yang dipilih bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan ibu dan janin. Namun demikian, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, setiap tindakan mempunyai resiko, baik yang telah diduga maupun yang tidak diduga sebelumnya.
4.      Penolong telah pula menjelaskan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan tindakan pertolongan persalinan dan menghindarkan kemungkinan risiko, agar diperoleh hasil asuhan kebidanan yang optimal.
5.      Semua penjelasan tersebut diatas, sudah saya maklumi dan dijelaskan dengan kalimat yang jelas dan saya mengerti sehingga saya memaklumi arti tindakan atau asuhan kebidanan yang saya alami. Dengan demikian terjadi kesalah pahaman diantara pasien dan bidan tentang upaya serta tujuan, untuk mencegah timbulnya masalah hukum dikemudian hari.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk memperoleh penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat kepada suami atau wali saya yaitu:
Nama                                                               :..........................................
Tempat/Tanggal Lahir                         :..........................................
Alamat                                                            :..............................................
Kartu Identitas                                                :..............................................
Pekerjaan                                                         :..............................................

Demikian agar saya maklum, surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

...............................,.................
Bidan Yang Memberi Persetujuan                                                      Pasien

(............................)                                                                  (...............................)



III.             ASPEK HUKUM REKAM MEDIS
Rekam medis
·         Rekam Medis Kesehatan menurut Lampiran SK PB IDI No 315/PB/A.4/88 adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis / kesehatan kepada seorang pasien.
·         Pasal l PERATURAN MENTERI KESEHATAN (PERMENKES) REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 749a/MENKES/PER/XII/1989 Tentang Rekam Medis/Medical Records, yang berbunyi : “Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana kesehatan”.
·         Bab II butir 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN MEDIK Nomor 78 / Yan.Med /RS.UM.Dik/YMU/1/ 91 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Rekam Medis / Medical Record di Rumah Sakit, yang berbunyi : Rekam Medis di Rumah Sakit adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien selama dirawat di rumah sakit yang dilakukan di unit – unit rawat jalan termasuk unit gawat darurat dan unit rawat inap.
Isinya adalah:
a. Kumpulan bukti bukti dalam bentuk berkas catatan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya, hasil pemeriksaan laboratorium, gejala gejala yang timbul. Singkatnya mengenai segala sesuatu yang telah dilakukan di RS selama pasien dirawat, termasuk Informed Consent yang sudah dibubuhi tanda tangan yang dilekatkan pada berkas Rekam Medis tersebut.
b. Kegunaan dari Rekam Medis merupakan 'flash back' tentang apa apa saja yang dilakukan selama pasien dirawat di RS tersebut.
Kegunaan Rekam Medis menurut Pasal 70 Permenkes No 749 tahun 1989 adalah:
1.              Berkas Rekam Medis milik sarana pelayanan kesehatan.
2.              Isi Rekam Medis milik RS, pasien hanya mendapat fotocopi resume.
Pasal 11 : Rekam Medis wajib dijaga kerahasiaannya.
Pasal 12 : Pemaparan isi Rekam Medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat dengan izin dari pasien.
Tenaga yang berhak membuat Rekam Medis adalah :
a. Dokter Umum, Dokter Spesialis, Dokter Gigi dan Dokter Gigi Spesialis yang bekerja di Rumah Sakit tersebut.
b. Dokter tamu yang di rumah sakit tersebut.
c. Residens yang sedang melaksanakan kepaniteraan medik.
d. Tenaga paramedis perawatan dan paramedis non perawatan yang langsung terlibat di dalam pelayanan – pelayanan kepada pasien di rumah sakit meliputi antara lain : perawat, perawat gigi, bidan, tenaga laboratorium klinik, gizi, anestesia, penata rontgent, rehabilitasi medik dan lain sebagainya.
e. Dalam hal dokter luar negeri melakukan alih teknologi kedokteran yang berupa tindakan /konsultasi kepada pasien, yang membuat rekam medis adalah dokter yang ditunjuk oleh Direktur Rumah Sakit.

Isi Rekam Medis:
1.      Data Pribadi
Nama, nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat sekarang, keluarga terdekat, pekerjaan, nama dokter dan keterangan yang diperlukan untuk identifikasi lainnya
2.      Data Finansial
Nama / alamat majikan / perusahaan, perusahaan asuransi yang menanggung, tipe asuransi, nomor polis, dsb.
3.      Data Sosial
Kewarganegaraan / kebangsaan, hubungan keluarga, agama, penghidupan, kegiatan masyarakat dan data data lain mengenai kedudukan sosial pasien.
4.      Data Medis
Merupakan rekam klinis dari pasien, rekaman pengobatan yang berkesinambungan yang diberikan kepada pasien selama ia dirawat di RS. Data data ini memuat hasil hasil pemeriksaan fisik, riwayat penyakit, pengobatan yang diberikan, laporan kemajuan pengobatan, instruksi dokter, laporan lab klinik, laporan laporan konsultasi, anestesi, operasi, formulir Informed Consent, catatan perawat dan laporan atau catatan lain yang terjadi dan dibuat selama pasien dirawat.

Kegunaan Rekam Medis menurut Permenkes No 749 tahun 1989 adalah sebagai:
a. Atas dasar apa pasien dirawat dan adakah monitor dan evaluasi pengobatan selama dalam perawatan.
b. Data data rekam medis dapat dipakai sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.
c. Data data tersebut kemudian dapat dipakai untuk keperluan penelitian dan pendidikan.
d. Data data tersebut dapat dipakai sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
e. Serta sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Semua catatan tulisan dalam Rekam Medis harus dapat dibaca dan lengkap, harus otentik dan diberi tanggal dan waktu, langsung oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberi instruksi, memberi atau mengevaluasi pelayanan yang diberikan ( identifikasi dengan nama dan disiplin ilmu, tanda tangan, inisial tertulis atau pemasukan pakai komputer ).

Semua catatan data harus mendokumentasikan:
1.             Bukti dari pemeriksaan fisik, termasuk riwayat kesehatan dan dilakukan tidak lebih lama dari 7 hari sebelum masuk rawat atau dalam jangka waktu 48 jam sesudah masuk rumah sakit.
2.             Diagnosa masuk rawat.
3.             Hasil dari evaluasi konsultasi pasien dan temuan yang cocok dengan staf klinik dan staf lainnya dalam merawat pasien.
4.             Dokumentasi komplikasi, infeksi yang timbul di rumah sakit dan reaksi tidak cocok dengan obat dan anestesi.
5.             Dijalankan dengan tepat formulir Informed Consent untuk prosedur dan tindakan yang ditentukan oleh staf medis, atau Hukum Federal atau Hukum Negara, apabila cocok, untuk memperoleh persetujuan.

Semua instruksi dokter, catatan perawat, laporan dari tindakan, data medikasi, rodiologi dan hasil laboratorium, serta tanda tanda vital dan informasi lain yang diperlukan untuk memonitor keadaan pasien, harus di dokumentasikan dalam Rekam Medis, termasuk catatan pemulangan pasien dengan hasil masuk rawat, catatan kasus dan catatan pemberian perawatan follow up. Tidak lupa cantumkan diagnosis akhir/Ringkasan Pulang dengan melengkapi Rekam Medis dalam waktu 30 hari sesudah pemulangan pasien.

Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada Rekam Medis, dapat dilakukan pembetulan. Pembetulan hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa penghapusan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter., dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan. ( Pasal 5 Ayat 5 dan 6 Permenkes No 269 / Menkes / PER / III / 2008).

Rekam Medis pada sarana pelayanan kesehatan non RS wajib disimpan sekurang kurangnya untuk jangka waktu 2 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien tersebut berobat.


IV.             ASPEK HUKUM RAHASIA MEDIS
Bahwa rekam medis wajib dijaga kerahasiannya, dapat kita jumpai dalarn beberapa peraturan, yaitu :
1.      Pasal 11 PP Republik Indonesia Nomor : 749/MENKES/PERlXI1/1989 Tentang Rekam Medis/Medical Records, Yang berbunyi : “Rekam medis merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiannya”.
2.      Bab IV butir 2 Keputusan DIR-JEN Pelayanan Medik Nomor : 78/Yan.Med./RS.UM.DIK/YMU/I/91 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Rekam Medik / Medical Record di Rumah Sakit, yang berbunyi : “Isi rekam medis adalah milik pasien yang wajib dijaga kerahasiannya”.
Untuk melindungi kerahasiaan tersebut, maka dibuat ketentuan sebagai berikut :
a.       Hanya petugas rekam medis yang diijinkan masuk ruang penyimpanan berkas rekam medis.
b.      Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi rekam medis untuk badan-badan atau perorangan, kecuali yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Selama penderita dirawat, rekam medis menjadi tanggung jawab perawat ruangan dan menjaga kerahasiannya.
3.      Pasal 5 Kode Etik profesi Rekam medis, yang berbunyi : “Setiap pelaksana rekam medis dan informasi kesehatan selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan haklkerahasiaan perorangan pasien dalam memberikan informasi yang terkait dengan identitas individu dan social”.
4.      Pasal 22 PP Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Ayat (1) yang berbunyi : “Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien “.
Menurut Pasal 10 PERMENKES tentang rekam medis menyebutkan :
(1)                     Berkas rekam medis milik sarana kesehatan.
(2)                     Isi rekam medis milik pasien.
Pada BAB IV JUKLAK PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS disebutkan bahwa :
1.      Berkas rekam medis adalah milik rumah sakit. Direktur rumah sakit bertanggung jawab atas :
a.                Hilangnya, rusaknya atau pemalsuan rekam medis.
b.                Penggunaan oleh Badan atau Orang yang tidak berhak.(Kedua hal tersebut di atas tercantum dalam pasal 13 PERMENKES Tentang Rekam Medis).
2.      lsi rekam medis adalah milik pasien yang wajib dijaga kerahasiaannya.
Oleh karena berkas rekam medis adalah milik rumah sakit, maka :
a.       Rekam medis tidak boleh keluar dari sarana kesehatan.
b.      Dengan demikian, maka pasien tidak boleh membawa pulang rekam medis.
c.       Apabila pasien membutuhkan isi rekam medis untuk mendapatkan second opinion, maka yang boleh dibawa oleh pasien adalah copy rekam medis.
d.      Karena rekam medis dapat dijadikan alat bukti di pengadilan, maka penyidik hanya boleh membawa copy rekam medis.
e.       Tenaga kesehatan yang dipanggil sebagai saksi ahli atau saksi di pengadilan untuk memberikan keterangan tentang pasien, hanya boleh membawa copy rekam medis.
Oleh karena isi rekam medis adalah milik pasien, maka :
-          Pasien berhak untuk melihat atau mengetahui isi rekam medis miliknya, karena dia berhak untuk mendapat informasi mengenai penyakitnya, sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 53 Undang – undang Tentang kesehatan dan BAB II butir 9 Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor : YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.
Pasien boleh meminta copy rekam medis yang mungkin. akan digunakan untuk:
a.       Mendapatkan second opinion atau pendapat kedua, dimana copy rekam medis itu sangat dibutuhkan oleh pemiliknya.
b.      Mendapatkan data sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang telah diperolehnya.
c.       Dipakai sebagai catatan pribadi mengenai penyakit yang pernah diderita dan pengobatan serta perawatan yang pernah diberikan kepadanya, dimana catatan tersebut sangat bermanfaat apabila dia harus berobat dan menggunakan obat lain sehingga dapat terhindar dari hal – hal yang tidak diinginkan seperti allergi, kontra indikasi dan sebagainya.


Hak pasien atas rahasia penyakitnya
Salah satu alasan mengapa Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Tentang Rekam medis adalah : Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran. Pada penjelasannya disebutkan bahwa : Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran dengan perasaan aman dan bebas. Ia harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala keluhan yang mengganggunya, balk bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hak itu berguna untuk menyernbuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa khawatir baltwa segala sesuatu mengenai keadaannya akan disampaikan kepada orang lain, baik oleh dokter maupun oleh petugas kedokteran yang bekerja sama dengan dokter tersebut.
Hak untuk disimpan rahasia penyakitnya ini, dicantumkan dalam .­
1.       Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan yang berbunyi: ”Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajihan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak Pasien.”
Penjelasan:
:
Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghonnati hak pasien.
Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain ialah :
-   Hak Informasi,
-   Hak untuk memberikan persetujuan.
-   Hak atas rahasia kedokteran,
-   Hak atas pendapat kedua ( second opinion )
2.       BAB II butir 8 Surat Edaran DIRJEN YANMED Tentang Pedoman Hak Dan Kewajiban Pasien, Dokter Dan Rumah Sakit yang berbunyi : ” Pasien berhak atas privacy dan kerahasiaan penyakit yang diderita terniasuk data – data medisnya”.
Pada penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa : ” Berdasarkan pasal ini orang ( selain daripada tenaga kesehatan ) Yang dalam pekerjaannya berurusan dengan orang sakit atau mengetahui keadaan si sakit, baik yang tidak maupun yang belum mengucapkan sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia mengenai keadaan si sakit.
Dengan demikian para mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, ahli farmasi, ahli laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai murid paramedis dan sebagainya termasuk dalam golongan yang diwajibkan menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan dapat menetapkan, baik secara umum maupun secara insidentil, orang – orang yang wajib menyimpan rahasia kedokteran, misalnya pegawai tata usaha pada rumah – rumah sakit dan laboratorium – laboratorium. ”

Tenaga Kesenatan Yang Wajib Menyimpan Rahasia Pasien.
Pengertian tentang tenaga kesehatan, diatur dalam :
1.      Pasal 1 butir 3 Undang – undang Tentang Kesehatan, yang berbunyi : ’Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.
2.      Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yang definisinya sama dengan yang tersebut diatas.

Sanksi Hukum.
Setiap tenaga kesehatan yang mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia tentang penyakit pasien beserta data – data medisnya dapat dijatuhi sanksi pidana, sanksi perdata maupun sanksi administratif, apabila dengan sengaja membocorkan rahasia tersebut tanpa alasan yang sah, sehingga pasien menderita kerugian akibat tindakan tersebut.
Akibat yang mungkin timbul karena pembocoran rahasia ini, misalnya :
-          Tidak jadi menerima santunan asuransi karena pihak asuransi membatalkan keputusannya setelah mendapat informasi tentang penyakit yang diderita oleh calon kliennya.
-          Tidak jadi menikah, karena salah satu pihak mendapat informasi mengenai penyakit yang diidap oleh calon pasangannya.
-          Terjadinya perceraian . karena salah satu pihak mengetahui penyakit yang diidap oieh pasangannya.
-          Seorang pemimpin kalah dalam percaturan politik karena lawan politiknya mendapat inforrnasi mengenai penyakit yang diidapnya.
-          Merugikan negara, apabila informasi yang dibocorkan itu merupakan rahasia negara.



Sanksi Pidana.
Pasal 322 Kitab Undang – undang Hukum Pidana ( KUHP ) menyebutkan bahwa :
(1)    Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia di wajibkan untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2)    Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, nraka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Catatan Penulis :
-          Pasal ini berlaku bagi orang yang membocorkan rahasia pekerjaannya maupun rahasia jabatan ( dan atau rahasia jabatan ).
-          Pasal ini berlaku bagi orang yang membocorkan rahasia pekerjaannya dan atau rahasia jabatan, baik yang sekarang maupun yang telah lalu, karena dia pindah pekerjaan atau telah pensiun.
-          Ayat ( 2 ) menunjukkan bahwa delik ini adalah delik aduan, dimana perkara itu tidak dapat diusust tanpa pengaduan dari orang yang dirugikan. Pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama belum diajukan ke sidang pengadilan. Namun demikian, pada pasal 4 Penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1966 disebutkan bahwa : ” Demi kepentingan umum Menteri Kesehatan dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada suatu pengaduan. “. Sebagai contoh : Seorang pejabat kedokteran berulangkali mengobrolkan di depan orang banyak tentang keadaan dan tingkah laku pasien yang diobatinya. Dengan demikian la telah merendahkan martabat jabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada pejabat – pejabat kedokteran.
-          Pasal 112 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja mengumumkan atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang suatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya bahwa surat, kabar atau keterangan iiu harus dirahasiakan demi kepentingan negara, maka ia dihukum dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun “.

Sanksi Perdata.
Apabila pembocoran rahasia tentang penyakit pasien termasuk data – data medisnya, mengakibatkan kerugian terhadap pasien, keluarganya inaupun orang lain yang berkaitan dengan hal tersebut, maka orang yang membocorkan rahasia itu dapat digugat secara perdata untuk mengganti kerugian.
Hal ini diatur dalam Undang – Undang Tentang Kesehatan maupun dalam Kitab Undang – Undang Hukum Sipil atau Perdata ( KUHS ). Pasal 55 Undang – Undang Tentang kesehatan menyebutkan bahwa :
1.      Setiap orang berhak alas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Pasal 1365 KUHS. “Setiap perhuatan melanggar hukum yang nrengakihatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya nrengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugiarr tersebut “. Pasal 1366 KUHS. “Setiap orang bertanggung jawah tidak saja alas kerugian karena perbualannya, tetapi juga alas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati – hatinya “. Pasal 1367 KUHS. “.Seorang tidak saja bertanggung jawah untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang – orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang – barang yang dibawah kekuasaannya “.
Maksud daripada pasal 1367 KUHS ini adalah : Apabila seorang bawahan melakukan kesalahan, maka yang digugat adalah atasannya. Hal ini disebut juga dengan istilah ” respondeat superior ” ( tanggung jawab atasan ). Sedangkan pidananya ditanggung sendiri oleh yang bersangkutan.

Sanksi Pidana Untuk Pembocoran Rahasia Rekam Medis Berdasarkan Peraturan Pemerintah Tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 35 huruf D. Tentang Ketentuan Pidana yang diatur dalam PP Nomor 32 tahun 1966 Tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan : ” Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimak.sud dalam pasal 22 ayat ( 1 ) dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.00,- ( sepuluh juta rupiah ). Sedangkan bunyi pasal 22 ayat ( 1 ) yang dimaksud adalah : “Bagi setiap tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :
-          Menghormati hak pasien
-          Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien
-          Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan
-          Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan
-          Membuat dan memelihara rekam medis.

Sanksi Administratif.
Sanksi administratif untuk tenaga kesehatan sehubungan dengan peraturan tentang rekam medis diatur dalam pasal 20 PERMENKES Tentang Rekam Medis yang berbunyi : “Pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran sampai pencabutan ijin





DAFTAR PUSTAKA

Buku Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia dan Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia
http://info-ilmu-kebidanan.blogspot.com/2011/02/standar-pelayanan-kebidanan.html

No comments:

Post a Comment

Ilmu Kesehatan Masyarakat ( Public Health )

Bagi sebagian orang mungkin banyak yang sudah tidak asing lagi mendengar kata "IKM" atau Ilmu Kesehatan Masyarakat, namun ...